Sejarah Haji Sakti, Sang Hyang Rakian Sakti atau sering disebut Puyang Haji Rakian Sakti
Rangkuman Napak Tilas
Kita Marga Haji
Sejarah Kerajaan Saka
Aji, Marga Haji , Haji Sakti pernah dibukukan oleh pangeran tambuh martabaya IV
kira-kira dalam tahun 1815. Buku ini sengaja dibuat dengan lembaran berkulitkan
emas, warna kuning emas Adalah lambang tuhan yang maha esa, tercantum dalam
warna pakaian Sang Hyang Rakian Sakti/ Pangeran Surya Negara.
Pada masa perang
bilah-bilah (sukarami/ saka aji) dan berakhir dibanteng (pauh) buku tersebut
diambil oleh rakyat (belanda red) emasnya diambil sedangkan isinya dilempar
entah kemana.
Disusunnya kembali
sejarah kerajaan saka aji sai yang mana erat hubungannya dengan hukum inti
ketuhanan falsafah Jaya Sempurna yang diturunkan oleh Naga Sakti/ Nabi Khidir
AS (Aji Saka / Sang Hyang Rakihan Sakti) maka penguraian pencatatan sejarah ini
banyak bersangkut paut cara penguraiannya dengan hokum itu.
Buku ini disusun
kembali diSaka Aji pada tanggal 20 mei 1984 oleh Raden Santhy Aji keluarga
Bhaya Abadi berdasarkan catatan-catatan orang tua, terutama dari catatan Pangeran
Tambuh Martabaya VI dan disertai penyelidikan lebih lanjut…
v Sang Hyang Rakian
Sakti
Dalam sebuah nama
“Pangeran Surya Negara”
Yang berarti “naga
sakti membuat peristiwa untuk penurunan hukum matahari”
Surya “matahari”, Naga
“sang hyang naga sakti”, dan Gara “gara-gara/peristiwa”
Nama-nama lain Sang
Hyang Rakian Sakti:
Aji Saka atau Sipahit
Lidah, Naga Sakti atau Nabi Khidir(Ghaib),
Asal-usul beliau:
Beliau adalah malaikat
hokum yang ingin merasakan kehidupan sebagai manusia, sehingga beliau memohon
kepada tuhan supaya tetap hidup hingga akhir zaman, permohonan beliau
terkabulkan oleh tuhan maka beliau bernama Nabi Khidir AS (penguasa ghaib).
Garis besar tugas
malaikat hokum itu:
1. menghukum alam
supaya senantiasa tenang/ sempurna,
2. sebagai raja alam
ghaib
3. mengemban tugas
memperingatkan dan sebagainya kepada manusia dan jin akan H.I.K (falsafah jaya
sempurna) untuk dapat hidup bermasyarakat hingga akhir zaman.
Urai an diatas adalah
asal-usul naga sakti / nabi khidir (santhy) , sang hyang rakian sakti/ pangeran
surya Negara.
Pada saat beliau
menitis kembali yang kedua kalinya beliau telah memberikan gambaran keadaan
beliau zaman yang telah lalu. Yakni:
1. nama sang hyang
rakian sakti nama lain sebagai naga sakti(nabi khidir as) untuk pemusatan
kepercayaan, yang mana hukumnya berlambang kan matahari dan bulan (cahaya) atau
disebut dengan bumbungan matahari(haribaan tuhan yang maha esa / cahaya).
2. nama sang hyang
rakian sakti nama lain sebagai Aji Saka (sipahit lidah),
3. kemudian sang hyang
rakian sakti dengan nama lain sebagai Pangeran Surya Negara malahan diawali
dengan nama santhy yang berarti juru selamat. Makanya jelma haji pecaya apabila
dia tak bersalah dia senantiasa dalam lindungan puyang Aji(juru selamat).
v Sang Hyang Rakian
Sakti/ Pangeran Surya Negara
Bunyi Sila Tongkat
Persumpahan Haji :
1. disini aku dahulu
menurunkan hukum (Tenggalom),
2. disini pula aku
menurunkan hokum itu (Tongkatnya Miring),
3. disini pula hukum
itu diturunkan kembali (Ditegakkan).
Kiasan dari butir kedua
“petunjuk bahwa hukum itu akan diturunkan lagi”
Kiasan dari butir
ketiga “ telah ditentukan tandanya dengan letak tongkat agak miring,dan
diabadikan pada jari telunjuk keturunannya yang miring”.
Perlu diketahui bahwa
ini peringatan Sang Hyang bahwa hukum itu akan diturunkan kembali, maka makna
dari butir 3 “keturunannya harus menjaga dan menegakkan hukum (Persumpahan
Haji) itu kembali.
v Ke-12 Hulubalang Sang
Hyang Rakian Sakti:
1. Iskandar Alamsyah,
diSiguntang’
2. Bagus Kuning/ Raden
Kuning, diBagus Kuning Palembang,
3. Sapu Rantau,di
daerah Saka Tiga
4. Si Tunggang Abang di
Mara Bahala Martapura,
5. Raden Keling di
Putaran Tasik Danau Ranau,
6. Komering Raja
Ngaruntak di Muara Selabung/ Muaradua,
7. Ratu Aceh , lokasi
Buay Haji/ Pusat Haji Sakti sekarang Kuripan Aji
8. Macan Begerom di
Matahari, lokasi Muara Sungsang,
9. Macan Putih dibulan,
lokasi Pesagi atau sekarang Kenali,
10. Macan Ulung dihulu
Sungai, daerah Pugung,
11. Jugul Matahari
diBumi Lengang, daerah Pemetung Sengang Ranau,
12. Raden Selinggang
diJaga Mendung, lokasi Puncak Seminung.
Selain kedua belas
hulubalang beliau dibantu seorang Patih yaitu:
Patih Sewatang.
v Tanda Kekuasan Aji
Saka/ Sipahit Lidah atau Puyang Rakian Sakti:
Adalah sebuah “kayu
cendana” yang ditanam sebagai ciri/tanda makam Sang Hyang Rakian Sakti yang
dimakamkan di “Saka Aji” yang sekarang bernama “Sukarami Aji”. Cendana sakti
itu tak obahnya sebagai pertanda persumpahan beliau sebagai Aji Saka/Sipahit
Lidah, bahwa dia akan menitis kembali seperti sewaktu beliau bersumpah dibawah
pohon majapahit sebelum kembali kealam ghaib, pohon majapahit itu adalah pohon
henau. dan ternyata beliau menitis kembali dalam sebuah kerajaan majapahit.
“Makanya cerita orang yang tua mengatakan bahwa jelma haji anak taha, masih
taha dari jelma jawa….. karena sebelum adanya majapahit Aji Saka melakukan
persumpahan tanah Haji” cendana sakti ini merupakan pusaka keturunan beliau
(Aji Saka).
v Petala Gantung
Pada waktu sulah naga
berisang/ patih anom akan pergi ke haji seragi beliau berpesan kepada adik
angkatnya/angkonnya Puteri berdarah Putih bahwa apabila sepeninggalnya diHaji
seragi ada suatu huru hara maka panggillah ia dengan menabuh/memukul Gamolan
atau Gong Khayangan yang berada di Petala Gantung yang sekarang berada dihilir
desa Sukarami Aji tepatnya dihilir Pangkalan Nyapah sebelum tendikat. Pada
suatu ketika terjadilah huru hara dihaji seragi, maka puteri berdarah putih
pergi menuju Aji Sai, dengan menyusuri sungai Saka (Komering sekarang),
Sesampainya dimuara Selabung sungai itu bercabang dua maka ragu-ragulah beliau
sungai mana yang akan ditempuh. Maka beliaupun menimbang kedua sungai tersebut
dengan kemukjizatan beliau maka sungai yang berat adalah sungai Selabung sungai
tempat Sulah atau Aji Sai. Akhirnya masuklah beliau menyusuri sungai (selabung)
tersebut. Maka menurut riwayat Puteri Berdarah Putih diantar oleh Panglima
Puyang Temenggung Sikuncet Besi menuju Aji Sai. Puteri berdarah Putih adalah
adik angakt Sang Hyang Rakian Sakti, yang kemungkinan besar adalah saudara
sepupu putri ratu Pesagi/Pemanggilan yang berjuluk Bidadari Angsa yang
merupakan Permaisuri Sang Hyang Rakian Sakti. Sesampainya Siputeri Berdarah
Putih diPetala Gantung, maka ditabuhlah/ dipukul lah Gamolan Khayangan
tersebut, sehingga dapat terdengar hingga Pesagi(Ranau) yang mana saat itu
Sulah dan Sang Hyang Rakian Sakti sedang berada disana. Mendengar bunyi
Gamolan/Gong maka Sulah dan Sang Hyang Rakian Sakti pergi menjemput Puteri
Berdarah Putih, yang selanjutnya beliau-beliau ini menetap diPusat Aji Sai
(Haji Sakti) yang mana puteri berdarah putih menetap didaerah Sumur Pusaka
(sekarang dinamakan Sumur Puteri tempat beliau mandi) daerah ini sekarang
bernama Desa Kota Agung Aji.
Kemudian harinya stelah
siputeri berdara putih pergi menuju pulau jawa menyusul Sang Hyang Rakian Sakti
beliau meninggalkan seorang anak benama Buay Sedatu. Selama diwilayah Aji Sai
beliau memiliki pangawal Bernama Kukuk Sinangka-nangka yang memiliki tiga anak
buah. Lalu dikemudian harinya lagi menyusul pula kepulau jawa Sulah Naga
Berisang dan Supartung yang meninggalkan anak bernama Pangeran Hujan Terima
Sakti (cikal bakal desa sukarami adalah keturunannya) sehingga desa Sukarami
Aji pada saat hujan mereka mengatakan itu dalah Teghai/terai untuk menghormati
nama pangeran Hujan Terima Sakti (Munggu).
Berdasarkan
penyelidikan nama semua tokoh Aji Sai yang pergi dari wilayah Aji Sai memiliki
makam didaerah Cirebon Jawa Barat dengan nama sedikit berbeda namun memiliki
arti yang sama:
1. Sulah Naga Berisang
(patih anom) dangan nama naga berisang di gunung sari.
2. Puteri Berdarah
Putih dengan nama Jabang bayi diGirang
3. Supartung dengan
nama Syehk Megelung Sakti diKarang Kendal (JaTeng)
4. Sungkan disuka ham
-+1650, makamnya dimasjid agung tagwa dengan nama Mbah kuwu Sungkan.
Disepanjang aliran
sungai Selabung banyak peniggalan kebudayaan hindu/budha yakni dimasa Aji Saka
dan sebelumnya. Rakyat sekarang hanya mengetahui itu adalah peninggalan dari
majapahit masa Sang Hyang Rakian Sakti. Padahal sebelum beliau ini membawa
kebudayaan/ penyebaran islam, pernah terjadi suatu persumpahan tanah atau
wilayah antara Sang Hayang Rakian Sakti dengan Suku Abung(Lampung) dimana
beliau dengan persumpahan tongkatnya mengatakan dibawah tongkatnya tersebut adalah
tanah haji untuk menyakinkan bahwa tanah diwilayah Haji sakti itu adalah tanah
haji, bila bukan beliau akan mati didalam sumpah tersebut. Dengan kecerdikan
beliau pergi sebentar ketanah suci mekkah untuk mengisi bagian bawah tongkat
beliau.
Tempat persumpahan itu
sekarang dinamai Tanjung Haji dan tongkat tersebut ditancapkan disana sebagai
tugu yang setiap orang lewat disana ditumpukan batu disekitar tongkat.
v PERNIKAHAN RAKIAN
SAKTI
Hari-hari yang damai
dan tentram pun dirasakan masyarakat dengan peraturan dan adat yang baru
dibawah kekuasaan rakian.
Dalam keadaan
masyarakat yang damai dan tentram tersebut rakian terfikir ingin memiliki
isteri, diketahuilah oleh naga berisang tentang keinginan rakian tersebut, naga
berisang berkata pada rakian “izinkan aku mencarikan isteri untukmu dari negeri
cina”. Rakianpun menjawab “baiklah aku izinkan”. Naga berisangpun mengenalkan
gadis cina tersebut kepada rakian namun rakian tidak setuju, kemudian rakian
dengan ksaktiannya naik keatas awan sambil melihat-lihat. Dalam pandangannya
yang jauh ia melhat puteri dari ratu pesagi yang cantik dan anggun sedang mandi
dibukit pesagi, jatuh cintalah rakian pada puteri ratu pesagi tersebut,
kemudian mereka bertemu dan bersenda gurau diketahuilah namanya Puteri Dayang
Nyerupa.
Rakian yang sedang
kasmaran tersebut memanggil saudaranya Naga Berisang dan Ratu Acih kemudian
menceritakan kepada mereka bahwa ia sedang kasmaran dan berniat ingin menikahi
puteri tersebut,
“bagaimana caranya agar
aku bisa menikah dengan Putri Dayang Nyerupa?!” ucap Rakian pada mereka berdua.
Naga Berisang dan Ratu
Acih pun ikut berbahagia lalu berkatalah mereka berdua “baiklah kami menunggu
perintah”
Rakianpun meminta Ratu
Acih datang kepada Ratu Mesagi untuk menyampaikan maksudnya meminang Puteri
Dayang Nyerupa. Tanpa berfikir panjang berangkatlah Ratu Acih menghadap Ratu
Mesagi, sesampainya disana Ratu Acih menyampaikan permintaan Rakian, Ratu
Mesagi dan Puteri pun menyetujuinya.
Ratu Mesagi berkata
“baiklah, namun kami memiliki adat bertunangan”
“baiklah, apa yang ratu
mesagi inginkan??” jawab Ratu Acih
“sesungguhnya Rakian
telah mengetahui apa yang menjadi adat bertunangan, kami meminta semambu ulung
menjadi tongkat, buluh merindu, buluh kebut, buluh akar, cendana ulung” ujar
Ratu Mesagi.
jawab Ratu Acih “baik,
akan kusampaikan pada Rakian, aku mohon pamit untuk kembali ketanah haji”
Pada saat yang
bersamaan dengan keberangkatan Ratu Acih menghadap Ratu Mesagi, Rakian
memerintahkan Naga Berisang untuk mengambil buku hokum dan adat yang berada
didalam laut kedu dibawah kayu pauh jenggi, putaran tasik. Naga Berisangpun
menyanggupinya.
Naga berisang berangkat
menuju pauh jenggi, putaran tasik, naga berisang merubah dirinya menjadi ikan
kihung (gabus) namun tidak dapat sampai pada dasar laut karena banyak yang
menghalangi, naga berisangpun naik kembali kepermukaan ditemukannya ada Rakian
Sakti berdiri diatas permukaan laut, Naga Berisangpun berkata “aku belum sampai
kedasar karena banyak yang menghalangi”
“cobalah sekali lagi,
berubahlah kamu menjadi naga dan gantungkan kakimu pada kakiku” jawab Rakian
Sakti.
“baiklah” jawab Naga
Berisang.
Naga Berisang merubah
dirinya lagi menjadi Naga lalu menggantungkan kakinya dengan Rakian dan kembali
menyelam untuk mengambil buku yang dimaksud. Sesampainya didasar laut
terkejutlah Naga Berisang karena yang menjaga buku tersebut adalah Rakian
Sakti, lalu Naga Berisang menyampaikan maksud dan tujuannya untuk membawa buku
tersebut, diberikanlah buku tersebut kemudian Naga Berisang kembali kepermukaan
untuk menyerahkan buku yang diambil oleh Naga Berisang. Sesampainya dipermukaan
laut, Naga Berisang kembali terkejut karena Rakian Sakti tetap ada dipermukaan
laut menunggu Naga Berisang mengambil buku hukum dan adat.
Naga Berisang
menyerahkan buku hukum dan adat tersebut lalu berkata pada Rakian “sejak hari
ini aku akui kamu lebih sakti dari aku, memang benar aku lebih tua dari kamu
namun kamu lebih sakti dari pada aku, kini aku memanggil kamu kakak”.
Rakianpun tersenyum
sambil menjawab “baiklah, aku terima kalau itu keinginanmu, ayo kita kembali
ketanah haji untuk menetapkan hukum dan adat”.
“baiklah, ayo kita
berangkat” jawab Naga Berisang
Sesampainya mereka
dipurna dikumpulkanlah semua hulu balang lalu menetapkan hukum dan adat. Tak
lama kemudian Kembalilah ratu acih ketanah haji dan menyampaikan semua
permintaan Ratu Mesagi dan puteri kepada rakian.
Rakian pun berkata
“baiklah, kita penuhi permintaan Ratu Mesagi.”
Selang beberapa waktu
mereka menyiapkan bahan-bahan yang diminta ratu mesagi,
Kemudian rakian berkata
“semua permintaan telah kita adakan, antarkanlah besok keRatu Mesagi” ucap
rakian pada Ratu Acih.
“baiklah” jawab Ratu
Acih.
Keesokan harinya
berangkatlah Ratu Acih ke mesagi, sesampainya dimesagi telah disambut dengan
hormat oleh Ratu Mesagi.
“kami telah menerima
ini, namun masih ada lagi permintaan kami yaitu; pinang beragai, iban beragai,
rukuk menyalang, tembakau” ucap Ratu Mesagi kepada Ratu Acih.
Ratu Acihpun menjawab
“baik kami terima paermintaan Ratu Mesagi, dan aku mohon pamit untuk kembali
ketanah haji”
Sampailah Ratu Acih
ditanah haji langsung menyampaikan permintaan ratu mesagi tersebut kapada
rakian.
“baiklah, kita
kumpulkan lagi permintaan Ratu Mesagi tersebut, namun berangkatkanlah dulu utusan
ke bumbung matahari untuk memberitahukan berita ini kepada adikku Puteri
Berdarah Putih dan memintanya datang kemari untuk menyusun permintaan ratu
mesgi ini” ucap rakian pada ratu ratu acih.
“baik” jawab ratu acih.
Setelah menunggu,
sampailah puteri berdarah putih ditanah haji dan bertemulah dengan rakian.
Partemuan ini disambut bahagia oleh rakian, rakianpun menceritakan keinginannya
untuk meminang. Tak lama dari kedatangan puteri berdarah putih bermufakatlah
mereka merencanakan permintaan Ratu Mesagi dan Puteri Dayang Nyerupa.
“mari kita kerjakan,
kita ikuti bunyi dari buku hukum dan adat dari laut kedu dibawah kayu pauh
jenggi, putaran tasik dalam sepeku itulah yang akan kita gunakan” ucap puteri
berdarah putih.
Lalu diserahkan semua
bahan dan alat yang dibutuhkan kepada puteri berdarah putih, dan puteri pun
dibuatkan mahligai diseberang gunung pauh untuk menyiapkan cara-cara
pengunjungan (adat pernikahan). Dibuatkan pancur tujuh tempat mandi dan dari
pinggir way selabung menuju mahligai terdapat sumur yang dinamakan sumur puteri
berdarah putih. Setelah semua disiapkan maka pernikahan dan seserahan
dilaksanakan dengan aturan yang tertulis dari buku hukum dan adat yang didapat
dari laut kedu tersebut. Menikahlah rakian sakti dengan Puteri Dayang Nyerupa
dari Mesagi.
(tatacara pernikahan
dengan adat masih tetap berlaku hingga sekarang ditanah haji)
* hani crita ke 2 lah
slesai perang kekuasaan….
ditambahkan oleh: Yudha
(http://www.facebook.com/profile.php?id=1813615671)
v ASAL MUASAL TANAH
HAJI
Kisah ini Berawal dari
sekelompok persaudaraan pertalian darah dengan kesaktian yang sangat tinggi,
kelompok ini dipimpin oleh HYANG JAGAT PRABU / RAKIAN SAKTI / NEGARA SAKTI
bersama saudara pertalian darahnya NAGA BERISANG (SAILILLAH) membawa tanah haji
dari mekah…dengan anggota (hulu balang) :
1. Tuan Makdum
2. Bagus Kuning
3. Sandar Alam
4. Sapu Rantaw
5. Jugil Butaring
6. Si Tunggang Abang
7. Radin geruntak
8. Ratu Acih
9. Macan Ulung
10. Prajurit Perca
11. Macan Putih
12. Macan Gerom
Mereka datang dari
bumbung matahari (arah matahari terbit / timur) dengan mengikuti air dari
lautan, sampailah mereka didaratan (sekarang palembang / sumatera selatan),
kemudian rakian sakti memerintahkan beberapa hulu balangnya untuk menetap dibeberapa
daerah yaitu :
1. Tuan Makdum di Muara
Sungsang
2. Bagus Kuning di Batu
Ampar
3. Sandar Alam di Bukit
Seguntang
4. Sapu Rantaw di Saka
Tiga
5. Jugil Butaring di
Bumi Lengang
6. Si Tunggang Abang di
Pulau Berhala
7. Radin geruntak di
Muara Komering
Perjalanan dilanjutkan
mengikuti air jernih, sampailah rombongan diPelangka.
berkatalah rakian pada
rombongan “kita singgah disini”
kemudian mereka
mendarat ditanjungan. Sesampainya ditanjungan berkata kembali rakian “inilah
tanahku yang kuberi nama tanjung haji (tanah haji)”. Saat yang bersamaan
rakianpun meletakkan tanah yang ia bawa dari haji (mekah). Rakian pun kembali
memerintahkan anggota yang tersisa untuk menetap dibeberapa daerah yaitu:
1. Ratu Acih di ketapan
2. Macan Ulung di Hulu
sungai
3. Prajurit Perca di
Gunung Mesiki
4. Macan Putih di
Mendala bulan
5. Macan Gerom di
Matahari
Lalu Rakian Sakti
dengan saudara talian darahnya Naga Berisang meneruskan perjalanannya mengikuti
sungai jernih (selabung) sampai kedaerah yang subur tanahnya namun sudah ada
warga yang menetap, itu adalah warga abung…
Karena rakian merasa
itu masih dalam wilayahnya tanah haji, rakian dan naga berisang menetap untuk
mempelajari masyarakat tersebut, terdengarlah oleh rakian bahwa sesungguhnya
sebelum menjadi kekuasaan abung daerah itu bermukim sekelompok masyarakat yang
kemudian dijadikan kekuasaan oleh masyarakat abung, tak selang beberapa lama
rakian mengikrarkan “Aku besumpah ini adalah tanah haji dan kalau ini bukan
tanah haji maka habislah aku serta anak keturunanku” beliau berikrar sambil
memegang tongkat cendana ulung yang didalamnya ada tanah yang berasal dari haji
(mekah) {perlu diketahui bahwa masyarakat dan raja abung tidak mengetahui
adanya tanah yang disembunyikan dari senjata rakian ini .red}. Terkejutlah warga
dan raja abung, berkata raja abung “aku tidak percaya ini tanah haji dan
apabila perkataanmu itu benar maka kamu akan selamat, namun apabila salah maka
perkataanmu itu akan mencelakaimu sesuai dengan sumpahmu”.
Setelah peristiwa itu
rakian menetap dan bergaul dengan warga setempat, waktupun berlalu dari hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulanpun berganti tahun, ternyata
rakian masih tetap hidup, raja mulai merasa cemas dengan keadaan ini karena ia
berfikir kerajaannya akan terancam apabila terus dibiarkan, kemudian raja pun
bersiasat dikumpulkanlah warga masyarakat di ujung kampong dengan memanggil
rakian, raja berkata kepada rakian didepan rakyatnya “hari ini aku ingin lihat
kebenaran ucapanmu sekali lagi dan apabila itu benar maka aku akan tinggalkan
tempat ini bersama bawahan-bawahan setiaku, apakah kamu berani??”
kemudian rakian berkata
“baiklah apa permintaan raja aku ikuti”.
Raja pun menjawab
“belahlah batu ini tanpa menggunakan senjata”
Rakianpun
menyanggupinya, batu yang dimaksud dipukul menggunakan tangan lalu terbelahlah
batu tersebut (maka disebut batu pesumpah). Wajah Rajapun memerah karena geram
dan menyerang, namun dihalau oleh naga berisang yang selalu ada bersama rakian.
Ditengah perselisihan Rakianpun melerai pertikaian tersebut sambil berkata “aku
akan keseberang sungai menunggu kamu meninggalkan kampong ini, siapa dari
masyarakat yang ingin ikut aku ayo kita menyebarang!!!”.
Beberapa orang dari
masyarakat yang merasa tanah itu bukan milik bangsa abung mengikuti rakian
karena melihat kebenaran dan kesaktian rakian. Waktu berselang lama namun sang
raja seolah menantang dengan tidak meninggalkan tanahnya, rakianpun
mengumpulkan hulu balangnya bersama naga berisang kemudian menyerang dan
mengusir raja dan masyarakat abung dari kampong itu. Tanpa membutuhkan waktu
yang lama, raja dan masyarakat pun menyerah dan pergi dari tanah haji.
Berhasilah rakian mengusir raja dan bangsa abung dari tanah tersebut, kemudian
tanah haji pun terbentuk dan kampong lama pun ditinggalkan dengan menyeberangi
sungai yang saat ini disebut way selabung (pada saat ini kampong baru yang
ditempati tersebut diberi nama Tanjung Raya). Setelah pertikaian maka
masyarakat menempati tanah tersebut dengan tentram dan damai, rakian memilih
menetap dipurna dan naga berisangpun memilih menetap disurabaya.
ditambahkan oleh: Yudha
(http://www.facebook.com/profile.php?id=1813615671)
v Bahasa dan Adat
Istiadat Suku Aji/Haji
Cerita Suku Haji OKU
Selatan
A. Adat :
Adat istiadat disebelah
utara kerajaan saka (aji sai) telah lama dibentuk sejak berdirinya kerjaaan
tersebut. Pembentukan adat dilakukan oleh tokoh-tokoh kerajaan dalam bimbingan
Sang Hyang Rakian Sakti/ H.I.K falsafah jaya sempurna. Daerah sebelah selatan
pedalaman lampung sekarang, adat belum dibina secara resmi karena sebagian
penduduknya yang antara lain suku abung masih membangkang terhadap Sang Hyang
Rakian Sakti. Baru setelah dikemudian hari mengetahui bahwa Sang Hyang Rakian
Sakti sebenarnya adalah leluhur mereka juga (aji saka) lagi pula istri Sang
Hyang Rakian Sakti berjuluk bidadari angsa adalah Putri dari Ratu Pesagi. Maka
mereka kembali berasimilasi dengan Pangeran Sang Aji Malihi (kakanda Rahman
Effendi Martabaya: Pangeran Sangaji Malihi) yang pada tahun 1640 pangeran ini
adalah Raja Kerajaan Haji Sakti (Saka Aji). terbentuklah adat perpaduan yang
dalam penasehatan/pengarahan oleh Pangeran Sang Aji Malihi sesuai dengan
kedudukannya sebagai Ratu Adil. Disini disimpulkan bahwa Sang Aji Malihi
sebagai Raja Adat, Raja Hukum ,dan Raja Basa (Bahasa).
B. Bahasa:
Sang Hyang Rakian Sakti
dijuluki juga dengan julukan Raja Basa/Bahasa dalam riwayat pada suatu ketika
beliau akan mencari seorang permaisuri. Maka diadakanlah sayembara bahwa barang
siapa yang bisa berbahasa haji (Haji Sakti), maka pilihan akan jatuh kepada yang
bisa berbahasa tersebut. Berduyun-duyunlah putri dari berbagai negeri mengikuti
sayembara akan tetapi tidak ada satu pun yang pandai bahasa tersebut, pada saat
akan berakhirnya sayembara tiba-tiba muncullah seorang puteri dari negeri
Pesagi (Skala Berak) yang dalam keadaan berpenyakitan, Sang Hyang Rakian Sakti
pun berdialog dengan puteri tersebut dengan durasi yang sangat lama, setelah
berdialog yang cukup panjang maka jatuhlah pilihan tersebut kepada puteri dari
kerajaan Pesagi yang diberi julukan Puteri Bidadari Angsa. Dengan kesaktian
Sang Hyang Rakian Sakti maka disembuhkanlah penyakit puteri dari kerajaan
Pesagi tersebut, yang telah melayani beliau berdialog dalam berbagai bahasa.
“Hakekat Bahasa Haji menurut Sang Hyang Rakian Sakti adalah bahasa yang
terbanyak dikuasai rakyat yang berarti semua bahasa itu bila berbaur melalui
dialog antar suku bisa timbul suatu bahasa tunggal sebagai bahasa persatuan”.
Berdasarkan sejarah ini bangsa menurut ilmu beliau adalah suatu kelompok
manusia yang digolongkan serumpun bahasa. maka dari itu kenapa Bahasa Haji
dapat masuk ke bahasa mana pun ini disebabkan keinginan Sang Hyang Rakian Sakti
untuk dapat menyatukan segala bahasa yang ada dinusantara. Kenapa Puyang Haji
kesiangan? Disini disimpulkan bukan kesiangan bangun tidur akan tetapi beliau
terlambat datang pada saat sidang pembentukan adat dan bahasa, dikarenakan dia
harus menemui adik angkat beliau yang bernama Sang Hyang Putri Berdarah Putih .
(versi Haji dalam buku
sejarah Aji Saka Sai)
(dibukukan kakanda Indra
Syafri gelar Cahaya Negeri)
Dipostkan oleh Aditya
Penatazaman
Pencinta Sejarah Suku
Haji Bumi Selabung OKU Selatan
Desa Sukarami Aji
http://adityakhenzo.wordpress.com/
Sejarah Adat (menurut
kakanda Rahman Effendi Martabaya Bandar Lampung)
Adat pepadun sai batin
terbentuk pada abad ke-17 tahun 1648 M oleh empat kelompok/buay, yaitu Buay
Unyai di Sungai Abung, Buay Unyi di Gunungsugih, Buay Uban di Sungai Batanghari
dan Buay Ubin (Subing) di Sungai Terbanggi, Labuhan Maringgai. Adat pepadun sai
batin ini masih ada pengaruh dari Hindu dan Buddha dan diadakan atau dibentuk
di Goa Abung (Kubu Tanah) di dekat perbatasan Buay Ubin (Subing) Kota Batu,
Ranau sekarang. Di sana ada lima buah kursi dari batu tempat sidang adat
tersebut. Adat pepadun sai batin dibentuk atas prakarsa dari Raja Saka (Aji
Sai) yang bernama/bergelar Pangeran Sang Aji Malihi yang pada waktu itu daerah
pedalaman Lampung dalam wilayah kekuasaannya. Suatu saat sidang akan
dilaksanakan Pangeran Sangaji Malihi terlambat datang karena beliau lebih dulu
menjemput adik angkatnya yang bernama Putri Bulan (Anak Bajau Sakti/Raja
Jungut) dikenali Bukit Pesagi untuk diajak menghadiri pembentukan sidang adat
tersebut. Saat sidang akan dimulai Putri Bulan bertanya kepada Sangaji Malihi
sidang apakah ini? Putri Bulan tidak dikenal keempat peserta sidang (empat
buay) yang merupakan utusan kelompok masing-masing wilayah. Sangaji Mailahi
menjawab akan membentuk adat.
Keempat bersaudara dari
4 buay tersebut merasa sangat tertarik melihat Putri Bulan adik angkatnya
Sangaji Malihi dari Pesagi tersebut, sehingga rapat/sidang ditunda sejenak
karena terjadi keributan di antara mereka. Untuk mengatasi keributan itu,
Sangaji Malihi memutuskan Putri Bulan dijadikan adik angkat dari mereka
berempat. Setelah meninggalkan daerah Goa Abung, mereka menyebarkan adat ke
daerah pedalaman Lampung sekarang. Buay Unyai pada puluhan tahun kemudian hanya
mengetahui sidang adat pepadun sai batin diadakan di daerah Buay Unyai dan
sebagai Raja Adat, Raja Hukum, Raja Basa (Bahasa) adalah Sangaji Malihi yang
kemudian hari dijuluki masyarakat sebagai Ratu Adil. Buay Bulan (Mega Pak
Tulangbawang) pada permulaan abad ke-17 Putri Bulan bersuamikan Minak Sangaji
dari Bugis yang julukannya diambil dari kakak angkatnya Sangaji Malihi (Ratu
Adil).
Empu Riyo adalah
keturunan Buay Bulan di Buay Aji Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji
dan Putri Bulan ada di belakang Kecamatan Tulangbawang Tengah dan Makam Minak
Sangaji dan Putri Bulan di Buay Aji Tulangbawang Menggala (sekarang). Di antara
keturunan Raja Jungut/Kenali Pesagi keturunan Buay Bulan ada di Kayu Agung,
keturunan Abung Bunga Mayang dari Mokudum Mutor marga Abung Barat sekarang.
Daerah lima Kebuayan
dan buay-buay lainnya di Lampung sekarang, kecuali Lampung Selatan dan Bengkulu
sebelah utara bertakluk kepada Raja Aji Sai tahun 1640 (Pangeran Sangaji
Malihi). Menak Masselem dari Buay Unyai Putra Menak Paduka Bageduh (Ratu Gajah)
yang bergabung Banten tahun 1680 karena terjadi perselisihan antara anak cucu
Menak Paduka Bageduh. Jadi adat pepadun sai batin merupakan satu kesatuan (two
in one) yang tidak terpisahkan satu sama lainnya karena arti/makna dari pada
kata atau kalimat pepadun sai batin adalah pepadun = musyawarah/mufakat, dan
sai batin = bersatu/bersama. Jadi kata pepadun sai batin adalah musyawarah
mufakat untuk bersama bersatu dalam rangka sidang adat tahun 1648 di Goa Abung
(Kubu Tanah) Kota Batu Ranau dekat perbatasan Buay Ubin, Lampung Barat
sekarang.
Pembentukan adat
tersebut diprakarsai Sangaji Malihi yang bergelar Ratu Adil yang oleh
masyarakat saat itu sebagai Raja Adat, Raja Hukum dan Raja Basa.
Dan kemudian hari
sejarah adat pepadun sai batin terbagi menjadi 2 kelompok/jurai, yaitu Lampung
sai = pepadun dan aji sai = sai batin, yang kemudian kita kenal sebagai lambang
Sang Bumi Ruwa Jurai (pepadun sai batin). Fakta/bukti autentik piagam logam
tahun 1652 Saka/1115 H atau tahun 1703 M yang bertuliskan Arab gundul dan
aksara pallawa/hanacaraka ada pada penulis sebagai salah satu keturunan Sangaji
Malihi. Jadi adat pepadun sai batin itu berarti musyawarah mufakat untuk
bersatu/bersama dalam pembentukan Adat.
Dalam waktu dekat ini
anggota Tim Pakar Aksara Kaganga Indonesia dari Sumatera bagian Selatan akan
melaksanakan Lokakarya Aksara Kaganga Indonesia di Bandar Lampung sebagai tuan
rumah penyelenggaraan kegiatan tersebut karena Provinsi Lampung-lah yang
mengangkat aksara kagama selam Indonesia merdeka.
Tujuan kegiatan
tersebut untuk segera mengangkat sejarah leluhur tempo dulu dengan
memasyarakatkan membaca tulisan aksara kaganga yang ada di Sumatera dan
Sulawesi.
Keterangan/Kata Rani
Siji:
Pepadun =
Musyawarah/mufakat
Sai batin =
Bersatu/bersama
Lampung sai = Kita
bersatu/mereka bersatu
Aji sai = Saya satu/ini
satu
Sang Bumi Ruwa Jurai =
pepadun saibatin (satu kalimat) musyawarah untuk bersatu
Alamat Penulis: Jalan
Cut Nyak Dien Gang Hamid No. 30 Bandar Lampung 35116
( versi kakanda Rahman
Effendi Martabaya gelar Raden Batin Aji )
Peneliti dan Pemerhati
Sejarah Budaya dan Aksara Kaganga Indonesia
Dipostkan oleh Lampung
Post
Dari kedua versi ini
tidak jauh berbeda, keduanya sama-sama mengakui Naga Sakti/ Sang Hyang Rakian
Sakti sebagai Titisan/Jelmaan Nabi Khidir as, serta sama-sama mengakui Kerajaan
Aji Saka Sai yang meliputi Jambi, Padang, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung.
(Sekian tentang Adat dan Bahasa)
Rangkuman
Ini hanyalah penggalan
dari sebuah “Sejarah Aji Sai”
yang disusun kembali
oleh:
Indra Syafri / Cahaya
Negeri
Kampung Ratu “Sukarami”
saka aji
Pada 21 januari 2002
Sumber Cerita ;
Ibrahim / Cinta Alam
Penambahan pada bagian
Adat dan Bahasa diambil dari:
(kakanda Rahman Effendi
Martabaya gelar Raden Batin Aji)
Alamat Penulis: Jalan
Cut Nyak Dien Gang Hamid No. 30 Bandar Lampung 35116
Sebagai pembanding
catatan yang pernah dibukukan oleh kak indra syafri (sukarami aji), tetapi
keduanya sangat mirip hanya tempat dan penulisan yang berbeda misalnya Sang Aji
Malihi oleh kakanda rahman effendi martabaya menulis Sangaji malihi. Tapi
memiliki kesamaan arti….. semoga rangkuman catatan kerajaan Aji Saka Sai ini
bermanfaat bagi generasi selanjutnya, yaitu Putra Putri Suku Haji (Aji Sai)
yang berlokasi dikecamatan Buay Sandang Aji dan kecamatan Tiga Dihaji kabupaten
Ogan Komering Ulu Selatan provinsi Sumatera Selatan.
Berbahasa Haji:
Bagi langsanak-
langsanak sa enjak haji, sa endak ngelahat atawa endak mbaca kisahnya sa asli.
Lah ku sediakon sebuah album photo sa isinya gambar lembarhan buku tersebut.
“Terima Kasih”
Dipostingkan kembali
Oleh :
Aditya Penatazaman
Pendiri group facebook
“Cahaya Kita Marga Haji”
November 2009
Ini hanyalah penggalan
dari sebuah “Sejarah Aji Sai”
Legenda Sipahit Lidah. Bukti Peninggalan Sipahit Lidah
Inilah bukti (mitos) si
pahit lidah di tengah masyarakat yang saat ini masih membekas di lingkungan
masyarakat.
Si Pahit Lidah, suatu
legenda yang hampir punah di mata penduduk Sumatera, khususnya di Sumatera
Selatan karena sampai sekarang belum bisa di pastikan dari mana asal usulnya.
Si Pahit Lidah dan
peninggalan-peninggalannya
1.Batu Macan...!!!!!!!!
Konon batu ini sudah
ada sejak abad ke 14 terdapat di Desa Pagar Alam Kecamatan Pulau Pinang
Kabupaten Lahat. Penduduk setempat meyakini batu macan adalah simbol sebagai wujud nyata paraturan adat (perdat)
yang harus dipatuhi. Menurut cerita penduduk setempat Dahulu kala ada seekor
macan yang kerap kali mengganggu masyarakat desa di empat wilayah (Pagar
Gunung, Gumay Ulu, Gumay Lembah, dan daerah Gumay Talang).
Keganasan macan yang
semakin merajalela kepada penduduk, membuat Si Pahit Lidah memperingati macan
untuk tidak meneruskan kelakuannya, namun sampai tiga kali teguran tidak pernah
dipatuhinya dan macan terus saja mengganggu penduduk.
Ketika Si Pahit Lidah
sedang bersantai dan berjemur di batu penarakan sumur tinggi, dari jauh
dilihatnya seorang wanita sedang menjemur padi sambil menggendong anaknya, dan
pada saat yang sama datang seekor macan dari arah belakang wanita secara
mengendap-endap untuk menerkam wanita bersama anak yang ada di gendongannya.
Melihat itu, kembali Si
Pahit Lidah memperingati macan, namun sayangnya teguran itu tidak juga
membatalkan niatnya untuk menerkam wanita tersebut, sampai akhirnya Si Pahit
Lidah berucap “Aii, dasar batu kau nii!” dan tiba-tiba macan tersebut berubah
menjadi batu.
Anehnya, bukan hanya
macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah, wanita berserta anak yang
sedang digendongnya turut menjadi batu. Setelah diselidiki, ternyata wanita
tersebut adalah wanita pezinah dan anak yang sedang digendongnya adalah anak
hasil perzinahan.
Dari kisah itu,
penduduk setempat mempercayai, apabila seseorang diketahui berzinah, maka
terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh si pelaku yakni menyembelih kambing
sebagai basoh rumeh (pembersih rumah. red), dan apabila si wanita mengandung
dan melahirkan, maka harus menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih
lingkungan. red). Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka
pelaku harus dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsi kan di daerah
lain atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali setelah
memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.
2.Goa
Putri...!!!!!!!!!!
Menurut legenda yang
dipercaya sampai sekarang, dulu tinggallah seorang Putri Balian bersama
keluarganya. Suatu saat, sang Putri mandi di muara Sungai Semuhun (sungai yang
mengalir di dalam goa, bermuara di sungai Ogan), persis pada pertemuan sungai
itu dengan sungai Ogan.
Pada suatu saat,
kebetulan seorang pengembara sakti lewat, namanya Serunting Sakti atau yang
lebih dikenal dengan nama Si Pahit Lidah. Melihat Sang Putri di sungai hendak
mandi, Si Pahit Lidah mencoba menegur. Namun tidak dipedulikan sama sekali oleh
Sang Putri. Sampai beberapa kali Si Pahit Lidah menegur Sang Putri, tetap saja
tidak dihiraukan oleh Sang Putri. "Sombong benar si Putri ini, diam seperti
batu saja...," kata Si Pahit Lidah menggumam. Gumaman itu langsung
mengenai Sang Putri, sehingga serta merta Sang Putri berubah menjadi batu.
Itulah batu yang terdapat di Sungai Ogan, seperti yang digambarkan pada awal
tulisan ini.
Si Pahit Lidah lalu
meneruskan perjalanannya. Tak disangka sampailah sang pengembara di depan
lokasi yang sekarang menjadi goa. "Katanya ini desa, tapi tidak kelihatan
orangnya, seperti goa batu saja,' kata Si Pahit Lidah bergumam. Dan jadilah
tempat itu sebagai goa batu. Itu legenda terjadinya Goa Putri.
Memasuki Goa Putri,
banyak keindahan alam ciptaan Tuhan yang menakjubkan dapat Anda saksikan.
Bagaikan perunggalan kerajaan pada zaman dahulu yang telah runtuh namun masih
utuh. Dinding goa yang dipenuhi stalagmit dan stalagtit menambah indahnya goa
tersebut. Pada pintu masuk dapat Anda lihat patung seekor singa yang
seolah-olah sedang orang di sana, jika Anda mencuci muka dengan air tersebut
bisa menjadi awet muda, kulit muka tidak kelihatan tua.
3. Danau Ranau...!!!!!!!
Danau ranau berjarak
kira2 342 km dari kota palembang, 130 km dari kota Baturaja. Konon kabarnya
hidup seorang yang sangat sakti yaitu Si Pahit Lidah, karena saking lidahnya
pahit dapat mengkutuk orang, binatang, atau benda apapun menjadi batu. Hal ini
dipercaya karena adanya situs peninggalan zaman dahulu kala yaitu BATU KEBAYAN
(candi sepasang pengantin) yang puing-puingnya masih tersisa di dekat Desa
Jepara, kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, kabupaten OKU Selatan,
Sumatera Selatan. Dan konon dipercaya banyaknya situs (arca atau patung) di
daerah Ranau.
4. Patung Gajah......!!!!!
Lokasi situs megalitik
itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an
kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di
kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai
Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda
sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop
(1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan
kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
Sebetulnya masih banyak
peninggalan dari legenda si pahit lidah, seperti arca,lesung,subik,batu sirmol
dan lain - lain. Tapi saya kutip yang terkenal di masyarakat.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya lengkap, Bukti Pengaruh Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Nusantara
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini
berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia
mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti
Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan
diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan
tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183
kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini
terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh
sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut
mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan
dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis
George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan
Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”,
sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk
pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran
Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur.
Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis
untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut
dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau
San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan
Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer
menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya
sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan
tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin
melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi
antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan
sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak
pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi
(di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut,
jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya
berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi
petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga
dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja
Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun
1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah
satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada
masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya
telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Pembentukan dan
pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai
Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan
merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di
luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk
populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih
memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu
kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan
yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan
daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak
671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682
di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7
ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah
menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang
yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah
menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi
militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya,
peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing
(Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan
Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama
di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi
Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah
timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk
mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke
kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya
atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra
bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di
semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan
Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah
pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi
penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti
Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi
lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.
Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran Buddha
Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di
Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke
Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun
671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala
yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan
bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa
koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran
Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi
budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama
Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung
turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya
yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya
menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga
beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh
menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena
pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja
Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga
sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di
dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali
raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu
naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M)
berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya
menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan
penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa
Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya
membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara
kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri
cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan
Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan
ini.
Relasi dengan kekuatan
regional
Untuk memperkuat posisinya atas
penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi
dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan
Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa
Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan
tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang
bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga
kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat
dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat
bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas
Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari
prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang
dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra
Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan
ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di
Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan
cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada
masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari
kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai
raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada
masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa
dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
Masa keemasan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan
kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam
menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa
kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi
kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan
kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti
arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap
kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan
gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam
menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah
peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di
mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan
Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja
Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I,
raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut
untuk menyerang Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan
Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil
menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade
berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti
Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada
raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk
kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke
Cina tahun 1028.
Antara tahun 1079 – 1088, kronik
Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan
Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah
pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja
Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi
urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia,
dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun
1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas raja-raja
bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul
Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah
jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa
bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada
buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di
kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni
San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk
agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki
15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga,
Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand),
Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang),
Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu
sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai
(Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang),
Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi
terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah
identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut
merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap
menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan.
Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara
raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli
Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco.
Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti
Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah
jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk
kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam
dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa
prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda,
mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu,
(tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai
(drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua,
yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya
terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua
ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis,
samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung
dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.
Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam
pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan
Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan
yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra
(pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan
dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan
sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat
pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun
1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik
raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan
bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit,
kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan
dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi
sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota
Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi penduduk Palembang, keluhuran
Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian
tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat
selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang
berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah
digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini
telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya
yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan
Sriwijaya. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk
Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar
harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan),
Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola
Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan
merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.
Source:
http://www.indonesiaindonesia.com/f/4090-sriwijaya/
Sumbe ( Sejarah Lengkap
)
Langganan:
Postingan (Atom)