Pada tahun 600 Masehi
terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama suku
skala Bhra ( purba ) artinya segara brak. yang berasal dari sekitar danau RANAU
yang berarti segara brak atau air yang luas , suku ini mendiami daerah
pegunungan dan lembah di sekitar gunung SEMINUNG daerah perbatasan Sumatera
Selatan dengan Lampung .yang dari dulu hingga sekarang di sebut RANAU
Suku ini terpecah
menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan sekitar
gunung SEMINUNG dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian
sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di daerah
huluan sumatera selatan yang kemudian di kenal dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang
berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ),
suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, Komering, RANAU,( Van Royen
-1927 )
Kenyataanya sekarang
orang RANAU tetap berada di sekitar danau RANAU, tidak pernah pindah mengikuti
aliran air (wai Wala/Selabung), karena pada dasarnya mereka adalah Suku Induk
dari Rumpun SEMINUNG, di sini yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Pemecahan
Dari suku RANAU pada zaman Kerajaan RANAU Purba ( terdeteksi sudah berdiri pada
abad ke 3) ini berdasarkan catatan dari tiongkok
“Menurut data Cina
Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah wilayah
Sumatra Selatan dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk adanya
aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin dan Vietnam atau
Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2
SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera tertentu.”
Itu berarti sebelum
berdirinya Kerajaan Skla Brak yang berdiri abad ke 4, Pecahan dari suku induk
ini yang kemudian membelah kearah utara, sebagai cikal bakal Keturunan Skala
Brak, dan Ke selatan yang kelak di kenal dengan Suku Komring dan daya
Minanga karena
kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai
ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno
atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, yang berasal dari
didaerah uluan sumatera selatan.(yang di maksud komring uluan disini adalah
hulu dari sungai komring yaitu danau RANAU, tidak bisa di pungkiri berarti yang
di maksud adalah-bahasa-RANAU)
Kerajaan tersebut di
pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti , yang bernama JAYA NAGA kemudian
oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja
yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita
kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang
mempunyai kesaktian tinggi..
Kerajaan ini kemudian
di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik ( tulisan )
di negeri china yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih
Kerajaan ini setiap
tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang
pada saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ).
Disebut pada dalm satu
tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan yang selalu
mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di
transeleterasikan menjadi Sriwijaya.
Pada tahun 671 Masehi
seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan ini dalam
perjalanannya menuju India untuk memperdalam ajaran Budha.
It-Tsing menetap 6 bulan
di Minanga ibukota kedatuan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta ,
dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah
Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan
melalui Kedah terus keutara menuju India.
Dapunta Hyang Sri
JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain
mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan
adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat.
Dengan Kesaktiannya ia dapat mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit,
matahari,bulan, bintang , hawa, hujan, angin, batu, tanah dan hewan, sehingga
penduduk kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan sosok titisan Dewa diatas
Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib yang diturunkan ke
bhumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap kata yang
diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan
istiadat, kebaikannya merupakan anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan
kemarahan beliau merupakan malapetaka.
Setiap daerah
taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari
Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di
daerahnya sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan
Sriwijaya.
Jaya Naga juga mampu
menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan
sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang
mendiami tiga gunung yang ada yaitu Suku dari Gunung SEMINUNG atau RANAU
Sebagai penurun suku Lampung Skala Brak dan Komring ), Gunung Dempo dan Bukit
Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi asal mula system
pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.
Kedatuan Sriwijaya
terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa kayu
kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah
yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
Selain itu juga kerajaan
Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini
merupakan perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam
pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya
kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara
terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan
It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang
cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini
sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang melakukan
perdagangan dengan India , Melayu dan China . Pedagang dari Tiongkok dagang ke
Sriwijaya dengan membawa keramik ,porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan
emas, permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana
komoditas penting pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam
pulau ini sehingga orang pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga (
Swarna Dwipa ) .
Kerajaan ini di aliri
oleh sungai-sungai ( kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan sehingga perahu
merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga
kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang kuat dan rapi yang
kemudian dapat menguasai seluruh kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat
Sunda .
Pada saat itu pelabuhan
Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang ada di
uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak.
Kondisi seperti ini membuat
kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera berlabuh di pelabuhan
Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan
Palembang.
Kisah perkembangan
kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti Kedukan
Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang
Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung
SEMINUNG. Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan
kekuatan dari sang Ghaib di Gunung SEMINUNG untuk menaklukkan tempat-tempat
yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di
karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu
teluk dimana sungai komering bermuara kurang strategis di pandang dari sudut
perdagangan.
Untuk Mewujudkan cita –
citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan
daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut
yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan
kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit –
Lampung Barat )
Sepulang dari
penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di
dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya
terkenal akan keberanian, dan kekuatannya.
Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung
Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah palembang
sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai
di mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut.
Tempat ini adalah dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu
masuk ke tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai
yang ada di sumatera.selatan.
Pada peta pantai timur
Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang menjorok
jauh kearah laut , kearah utara dengan jambi di ujungnya, dan yang timur
menjorok kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang
terbentuk oleh Bukit Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang
menjorok dalam lagi di mana sungai komering bermuara.
Kemudian Dapunta Hyang
Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya dengan 1.312
berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa
perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran –
pertempuran kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari
daerah daerah yang di lintasi oleh laskar Kerajaan Sriwijaya.
Pada tanggal 16 Juni
683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang
di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan
Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat
bangunan atau rumah ( barak ) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah
2 laksa laskar Sriwijaya , untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah
Prasati Kedukan Bukit .
Setelah Mengadakan
konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian menguasai
pelabuhan palembang , maka “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun
606 Saka ( 23 Maret 684 M ) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan
kesetiaan rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan
pesan agar semua hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang,
Enau, Rumbia dan semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat,
demikian pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga
berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga memohon
restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak
setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak
akan menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di
tempat dimanapun dia berada janganlah hendaknya terjadi Curang, Curi, Bunuh dan
Zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara
bhisayakasambodhi “
( Parasasti Talang Tuo
)
Setahun kemudian
terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra Kayet
sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya
terbunuh yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah
perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai
penghianat.
Untuk mengingat hal ini
maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat
lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang
Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti
Telaga Batu ).
Batu persumpahan yang
dimaksud antara lain berbunyi :
- “....... kamu
sekalian, seperti kamu semuanya, anak raja, bupati, panglima Besar,…….hakim
pengadilan……kamu sekalian akan dimakan sumpah yang mengutuk kamu. Apabila kamu
sekalian tidak setia kepada kami kamu akan dimakan sumpah. ( 1-6 )”.
- “ Apabila kamu
berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami ………...orang yang tidak
tunduk kepada kami serta kedatuan kami kamu akan di bunuh oleh sumpah kutuk
ini. ( 7-8 ) “.
- “ Apabila kamu
menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami atau menjalankan tipu
muslihat………..dan apabila kamu tidak tunduk kepada negara kedatuan kami maka
terkutuklah kamu akan dimakan dibunuh sumpah kutuk. ( 11-12 ) “.
- “ Demikian pula
apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah perbatasan negara kedatuan
kami kamu akan dimakan, di bunuh. (13-14).
- “ ……lagi pula kami
tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang melindungi sekalian daerah
negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja kedua, dan pangeran lain yang
didudukan dengan pengangkatan menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu
tidak tunduk kepada kami ( 19-20 )”.
Secara Geografis
palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran di
Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar
singgah di kerajaan Melayu ( Jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di
pantai timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya
ke utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang.
Melihat kondisi seperti
ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi
) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.
Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula tanah Melayu
sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium
Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise
kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di
Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan
perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja Melayu
harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus
saja terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri
Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap
penghianatan, walau di lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas .
kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah
prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui selat Bangka
. Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah
menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan
perjalanannya ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa
lokal dan rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan
untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga. Demikianlah pada
akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau tahun
686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti
Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi
Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dalam perjalanan Sri
Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di pantai timur
Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan,
kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu
rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih
) di lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau
meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah
setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.
Dari Way Seputih
Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mengutus salah
Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu
Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data
yang ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara.
Pada saat inilah di
nyatakan oleh berita di neger China ( Dinasti Tang ) bahwa kerajaan Sriwijaya
terpecah menjadi dua bagian masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. (
Kronik Dinasti Tang ).
Pada periode
perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan
perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor
( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu
dari Wangsa Sailendra.
Sementara itu Dapunta
Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan memerintah Kedatuan
Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut China
Selatan .
Berdasarkan prasasti
Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga
Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa,
dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi
bagian kerajaan.
akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah
pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra
di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya.
Masa berikutnya, Pan
Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di
bawah pengaruh Sriwijaya.
Di akhir Abad ke 7
ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap atau hilang secara
misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya
Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung SEMINUNG untuk bertapa
sampai akhir hayatnya.( Legenda Minanga Sigonong-Gonong )
Sumber ( Ranau Kota
Wisata )
0 komentar:
Posting Komentar