Danau Ranau mempunyai luas 128 km persegi atau
8x16 km mempunyai cerita legenda yang menarik. Menurut cerita yang berkembang
selama ini, alkisah pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang subur di tepi
sebuah paya-paya (rawa) yang luas tinggallah seorang tetua adat. Paya-paya
tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon Reranau. Di samping itu tumbuh pula
sebatang pohon Hara yang sangat besar. Di pohon ini banyak sekali
burung-burung yang bersarang dan di antaranya terdapat sepasang burung yang
besar sekali dan menjadi pimpinan diantaranya.
Mata
pencaharian penduduk desa itu adalah mencari ikan serta bercocok tanam dengan
berladang dan menggarap sawah. Karena suburnya daerah ini, banyak orang yang
berdatangan dan bermukim serta mencari nafkah dengan bercocok tanam. Untuk itu,
mereka membuka lahan-lahan baru yang masih subur, namun makin lama penduduk
berladang sampai ke puncak-puncak bukit dan gunung-gunung bahkan sampai ke
hutan larangan. Mereka selalu berpindah-pindah mencari lahan baru yang masih
subur. Larangan serta aturan adat dalam berladang sudah tidak diindahkan lagi
oleh penduduk, mereka tidak mau lagi mendengar petuah yang diberikan oleh
pemimpin adat.
Seiring
dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk semakin banyak dan kesibukan orang
tua untuk mengasuh anak-anaknya makin meningkat. Akibatnya anak-anak kurang
diperhatikan sehingga mereka tidak hanya bermain tetapi sudah mulai merusak.
Mereka mulai mengganggu burung-burung dan mengambil sarangnya di sekitar
paya-paya dan yang hidup di pohon-pohon. Anak-anak ini menangkap burung dan
mengambil sarangnya untuk dijadikan permainan. Melihat keadaan ini, kedua
burung besar itu menjadi sangat marah. Mereka mulai menyerang orang-orang yang
lewat serta orang yang berada di dekat sarangnya. Nampaknya kedua burung besar
itu melakukan protes atas gangguan terhadap kehidupannya.
Penduduk
mulai mencoba mengusir burung tersebut dengan jalan menebang pohon Hara namun
tidak berhasil, bahkan kedua burung itu menjadi semakin ganas. Beberapa orang
sepakat untuk mengadukan berita ini pada tetua adat yang selama ini mereka
lupakan dan memohon bantuannya untuk mengusir kedua burung tersebut. Setelah
berbincang-bincang dan mendapat petuah, mereka akhirnya pulang. Sementara itu,
tetua adat memohon petunjuk dan kekuatan untuk memusnahkan kedua burung yang
telah menyebabkan malapetaka bagi orang kampung.
Setelah
beberapa waktu penduduk laki-laki dikumpulkan dan pada hari yang telah
ditentukan dengan dipimpin oleh tetua adat, masyarakat beramai-ramai pergi ke
tepi paya-paya. Tidak lama kemudian, kedua burung itu datang menyerang, namun
tetua adat telah siap menghadapinya dengan mengerahkan segala kekuatan dan
kesaktiannya. Akhirnya, tetua adat dapat mengusir kedua burung ganas itu.
Kemudian
atas petunjuk dari tetua adat, maka penduduk akhirnya berusaha untuk menebang
pohon Hara dan pohon Reranau. Tetapi kedua pohon itu seolah memiliki kekuatan
sehingga tidak mempan ditebang. Setelah tetua adat menancapkan kapaknya,
barulah penduduk beramai-ramai dapat menebangnya, pohon Hara itu akhirnya tumbang.
Dari pohon Hara yang ditebang itu keluarlah mata air, makin lama makin banyak
yang akhirnya menggenangi paya-paya tersebut. Kini terbentuklah sebuah danau
yang besar dan indah, yang disebut dengan Danau Ranau. Untuk menghormati jasa
tetua adat, maka penduduk memberinya gelar "Singa Juru"
yang berarti pemimpin gagah berani dan bijaksana.
MISTERI GOA
PUTRI
Bila anda
sudah mencapai Baturaja dan Danau Ranau, sempatkanlah untuk mengunjungi tempat Wisata
Goa Putri yang sangat terkenal dengan cerita mengenai seorang putri dengan
perangkat istananya yang sudah menjadi stalagtit dan stalagmit ini. Goa Putri
ini terletak di Desa Padang Bindu, Kecamatan Pengandonan, sekitar 35 km dari
kota Baturaja.
Letak Goa
Putri sangat mudah dicapai karena letaknya yang tidak jauh dari jalan raya
utama lintas Baturaja-Prabumulih-Palembang. Di jalan masuk ke arah Goa Putri,
terdapat sebuah jembatan besi di atas Sungai Ogan dan ada papan penunjuk arah
ke Goa Putri dengan tulisan Objek Wisata Goa Putri. Dari atas jembatan anda
bisa melihat aktivitas masyarakat desa yang sedang mencuci dan mandi di sungai
tersebut. Namun ada salah satu hal yang menarik di sungai tersebut, yaitu
adanya sebuah batu yang seolah "tumbuh" di tengah sungai. Batu
tersebut kini mulai ditumbuhi rerumputan yang menutupi bentuk aslinya. Konon
menurut cerita yang berkembang di masyarakat, batu inilah yang dikisahkan dalam
legenda sang Putri Balian yang dikutuk menjadi batu oleh seorang yang
sakti mandraguna di masa itu yang bernama Si Pahit Lidah.
Tidak jauh
dari sungai tersebut, kira-kira 1 km, anda bisa menemukan sebuah goa yang oleh
penduduk setempat disebut Goa Selabe atau yang sekarang disebut Goa
Putri. Panjang goa ini lebih dari 150 meter dan masih sangat alami serta
tidak tembus, artinya kita harus kembali menuju jalan masuk bila akan keluar.
Goa ini belum dipasangi listrik hanya pada bagian depan saja yang sudah
dipasangi listrik, sehingga pengunjung yang datang melihat Goa Putri tidak bisa
singgah hingga ke dalam. Untuk yang gemar berpetualang tidak akan ada halangan,
dengan berbekal lampu senter sudah cukup untuk masuk ke goa tersebut.
Tidak bisa
dipastikan kapan goa ini ditemukan, tapi menurut cerita yang berkembang, memang
goa ini sudah ada sejak dulu dan masyarakat sekitar menyebutnya Goa Putri yang
dalam bahasa setempat disebut Susumen Dusun. Susumen berarti goa
dan dusun berarti desa.
Menurut
legenda yang dipercaya sampai sekarang, dulu tinggallah seorang Putri Balian
bersama keluarganya. Suatu ketika, Sang Putri mandi di muara Sungai Semuhun
(sungai yang mengalir dalam goa, bermuara di Sungai Ogan), persis pada
pertemuan sungai dengan Sungai Ogan.
Pada suatu
saat, kebetulan seorang pengembara sakti lewat, yang dikenal dengan nama Si
Pahit Lidah. Melihat Sang Putri yang hendak mandi di sungai, Si Pahit Lidah
mencoba menegur. Namun tidak diperdulikan sama sekali oleh Sang Putri. Sampai
beberapa kali Si Pahit Lidah menegur Sang Putri, tetap saja tidak dihiraukan
oleh Sang Putri. Si Pahit Lidah kemudian menggumam, "Sombong benar si
Putri ini, diam seperti batu saja.." Gumaman itu langsung mengenai
Sang Putri, sehingga serta merta Sang Putri berubah menjadi batu. Itulah batu
yang terdapat di Sungai Ogan.
Si Pahit
Lidah kemudian melanjutkan perjalanannya. Tak disangka sampailah sang
pengembara di depan lokasi yang sekarang menjadi goa. Si Pahit Lidah kemudian
menggumam lagi. "Katanya ini desa, tapi tidak kelihatan
orangnya, seperti goa batu saja." Dan jadilah tempat itu sebagai goa
batu. Itulah legenda terjadinya Goa Putri.
Memasuki Goa
Putri, banyak keindahan alam yang ciptaan Tuhan yang menakjubkan dapat anda
saksikan. Bagaikan peninggalan kerajaan pada zaman dahulu yang telah runtuh
namun masih utuh. Dinding goa yang dipenuhi stalagmit dan stalagtit menambah
keindahan goa tersebut. Pada pintu masuk dapat anda lihat patung seekor singa
yang seolah-olah sedang menjaga pintu. Sementara di dalam goa terdapat tempat
peraduan Sang Putri, pelaminan Sang Putri lengkap dengan gambar mahkota di
atasnya, singgasana raja serta lumbung padi yang kesemuanya itu sudah berbentuk
batu. Yang lebih menarik lagi adalah adanya ruang keluarga raja lengkap dengan
"wastafel" untuk mencuci tangan. Di sana terdapat aliran air
yang sangat bersih dan dingin. Menurut cerita orang-orang yang di sana, jika
anda mencuci muka dengan air tersebut bisa membuat anda awet muda, kulit muka
tidak kelihatan tua.
Kisah
tentang Goa Putri ini memang penuh misteri, entah kapan bisa terungkap. Mungkin
hanya keajaiban alam biasa seperti kata seorang antropolog dari Bandung yang
pernah melakukan studi di sini. Dia menyatakan bahwa Goa Putri dan kawasan
sekitarnya adalah bekas lautan luas berusia 350 tahun sebelum masehi dan yang
menjadi goa itu hanyalah sebuah batu karang.
Si Pahit
Lidah
Siapa
sebenarnya Si Pahit Lidah itu? Kalau anda pernah menonton film yang dibintangi
oleh Advent Bangun sebagai Si Pahit Lidah, tentu anda akan mengenal legenda Si
Pahit Lidah. Mengapa setiap kata-kata yang keluar dari lidahnya begitu "manjur"
sehingga orang pun bisa berubah menjadi batu atau desa berubah menjadi goa
batu.
Dari mana
asal muasalnya Si Pahit Lidah? Sang pendekar ini sebenarnya hanyalah seorang
pembantu yang bekerja pada seorang Kiai sakti. Setelah sekian lama bekerja pada
Kiai, ia lalu berkeinginan meminta ilmu pada Kiai tersebut. Suatu saat Sang
Kiai sudah merasa bosan karena berkali-kali mendengar permintaan pembantunya.
Karena si pembantu
berkeinginan untuk segera pulang ke kampung halamannya, maka dipanggillah
lelaki muda itu untuk menghadap Kiai. Kemudian Sang Kiai meminta lelaki itu
untuk membuka mulutnya. Pada saat mulutnya terbuka, Sang Kiai lalu membuang
ludah ke dalamnya. "Katanya kamu minta ilmu, ya itulah ilmu yang saya
berikan, sekarang kamu boleh pulang", kata Sang Kiai. Nah kesaktian lelaki
itu kemudian ternyata terletak pada lidahnya. Setiap kata-kata yang keluar dari
lidahnya sungguh berbahaya karena semua bisa menjadi kenyataan.
Si Pahit
Lidah juga mempunyai teman yang sakti yang dikenal dengan nama Nenek bermata
empat atau Puyang Mata Empat. Keduanya ingin mengadu kesaktian
dengan memilih tempat di sekitar Danau Ranau. Keduanya juga sepakat dengan cara
saling ditimpa dengan buah aren, persis di bawah pohon aren. Yang pertama duduk
di bawah pohon aren adalah Nenek Bermata Empat dan Si Pahit Lidah naik ke atas
pohon aren dan memotong serangkaian buah aren. Begitu rangkaian buah aren jatuh
persis di atas ubun-ubun kepala, Nenek Bermata Empat dengan mudah mengelak,
karena ia bermata empat. Kendati Si Pahit Lidah marah-marah karena tidak bisa
mengalahkan Nenek Bermata Empat tapi ia tetap harus menghormati perjanjian dan
kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Giliran Si Pahit
Lidah untuk duduk di bawah pohon aren dan Nenek Bermata Empat naik ke atas
pohon aren untuk memotong buah aren. Begitu tangkai buah aren dipotong,
rangkaian buah itu jatuh persis di atas kepala Si Pahit Lidah. Tanpa bisa
mengelak, karena Si Pahit Lidah tidak bisa memprediksi saat jatuhnya rangkaian
buah aren itu, lelaki itu akhirnya mati konyol. Karena penasaran, Nenek Bermata
Empat ingin mengetahui lebih jauh mengapa sang jagoan bergelar Si Pahit Lidah,
lalu ia mencicipi lidahnya. Dan apa yang terjadi kemudian? Sekonyong-konyong
Nenek Bermata Empat itu langsung mati karena lidah Si Pahit Lidah mengandung
kesaktian.
Kabarnya,
makam Si Pahit Lidah berada di hutan yang berada di kawasan Danau Ranau.
Sayangnya tidak banyak yang tahu tentang hal ini termasuk warga setempat.
Sebenarnya berbagai legenda yang ada di Danau Ranau dan sekitarnya ini sangat
potensial untuk dikemas sebagai paket wisata khusus.