Quote:

Adat Pernikahan yang Terbilang Unik D OKU Selatan

Ada istilah unik dari adat pernikahan di OKU Selatan, yakni pria bisa 'membeli' wanita yang dilakukan saat seorang pria tengah dekat dengan tambatan hatinya.

Jangan berpikiran negatif dulu dengan istilah 'membeli' dari adat pernikahan OKU Selatan. Istilah itu bukan berarti seorang pria yang memiliki banyak uang bisa mendapatkan gadis idamannya dengan mengeluarkan sejumlah uang.
'Membeli' dalam adat pernikahan OKU Selatan merupakan kesepakatan antara seorang pria dengan pacar wanitanya.
Dikatakan salah satu pemerhati budaya OKU Selatan, Hasan MK, adat pernikahan dimana pria 'membeli' pujaan hatinya merupakan adat asli masyarakat OKU Selatan. Masyarakat OKU Selatan menyebut adat pernikahan ini dengan istilah 'jujur' atau pernikahan baibai.
"Pada adat pernikahan ini, pria menjujur (membeli) wanitanya. Ini dilakukan antara dua sejoli yang tengah memadu kasih," kata Hasan, Jumat (23/8/2013).
Dilanjutkan Hasan, adat nikahan baibai merupakan kesepakatan antara pria dengan wanita yang tengah memadu kasih. Saat pacaran, sepasang kekasih itu memang sudah memutuskan mau menikah dengan menggunakan adat nikahan seperti apa. Nantinya, jika sudah disepakati kedua sejoli, si pria akan menyampaikan kesepakatan itu kepada orangtuanya.
Istilah membeli dalam adat nikahan OKU Selatan ini memang dalam arti sesungguhnya. Pria yang nantinya akan mengikat pujaan hatinya akan memberikan sejumlah uang kepada orangtua pacarnya.
Setelah diputuskan akan menikah secara baibai, kata Hasan, orangtua si pria akan mendatangi kediaman orangtua si wanita. Tujuannya, orangtua pria ingin mengungkapkan bahwa mereka ingin meminang si wanita.
"Pada pertemuan pertama, hanya berembuk soal kapan waktu lamaran. Setelah kedua pihak sepakat, orangtua pria nantinya akan datang kembali di waktu yang telah disepakati," kata Ketua Dewan Adat OKU Selatan ini.
Di hari yang telah ditentukan, orangtua si pria kembali mengunjungi rumah orangtua si wanita untuk melamar. Mereka datang membawa kotak yang berisikan sirih, kapur, dan pinang. Kotak itu lalu diserahkan kepada orangtua si wanita.
Setelah diterima, salah satu dari orangtua wanita mengambil pinang yang ada di dalam kotak dan selanjutnya diserahkan ke orangtua mempelai wanita.
"Kotaknya sama dengan seperti kotak sekapur sirih yang sering dilihat dalam tarian Sekapur Sirih. Bedanya, karena tujuannya meminang, maka yang diambil adalah pinang, bukan sirih," kata Hasan.
Jika orangtua si wanita menerima dan memakan pinang itu, maka lamaran orangtua si pria diterima. Mulailah disepakati kapan akan dilangsungkannya akad nikah dan resepsi nikahan. Akad nikah digelar di rumah pihak wanita, sementara resepsi nikahan dilaksanakan di rumah pihak pria.
Zaman dulu, menurut Hasan, bujang gadis dari OKU (OKU Selatan merupakan pecahan dari OKU) tidak mengenal pacaran. Sangat jarang dilihat pria dan wanita berjalan berduaan sambil memegang tangan. Jika ada, keduanya saat itu juga akan langsung dinikahkan.
Di jaman dulu, jika pria terpikat dengan seorang gadis, dia akan langsung berbicara soal pernikahan. Sejak itu pula si pria dan si wanita memutuskan mau menikah dengan adat apa.
"Sebab itu, jarang sekali ditemukan adanya perzinahan. Mereka yang memadu kasih segera dinikahkan sehingga tidak ada hubungan suami istri di luar pernikahan," jelas Hasan.(refly permana)

Sejarah Haji Sakti, Sang Hyang Rakian Sakti atau sering disebut Puyang Haji Rakian Sakti

Rangkuman Napak Tilas Kita Marga Haji
Sejarah Kerajaan Saka Aji, Marga Haji , Haji Sakti pernah dibukukan oleh pangeran tambuh martabaya IV kira-kira dalam tahun 1815. Buku ini sengaja dibuat dengan lembaran berkulitkan emas, warna kuning emas Adalah lambang tuhan yang maha esa, tercantum dalam warna pakaian Sang Hyang Rakian Sakti/ Pangeran Surya Negara.
Pada masa perang bilah-bilah (sukarami/ saka aji) dan berakhir dibanteng (pauh) buku tersebut diambil oleh rakyat (belanda red) emasnya diambil sedangkan isinya dilempar entah kemana.
Disusunnya kembali sejarah kerajaan saka aji sai yang mana erat hubungannya dengan hukum inti ketuhanan falsafah Jaya Sempurna yang diturunkan oleh Naga Sakti/ Nabi Khidir AS (Aji Saka / Sang Hyang Rakihan Sakti) maka penguraian pencatatan sejarah ini banyak bersangkut paut cara penguraiannya dengan hokum itu.
Buku ini disusun kembali diSaka Aji pada tanggal 20 mei 1984 oleh Raden Santhy Aji keluarga Bhaya Abadi berdasarkan catatan-catatan orang tua, terutama dari catatan Pangeran Tambuh Martabaya VI dan disertai penyelidikan lebih lanjut…
v Sang Hyang Rakian Sakti
Dalam sebuah nama “Pangeran Surya Negara”
Yang berarti “naga sakti membuat peristiwa untuk penurunan hukum matahari”
Surya “matahari”, Naga “sang hyang naga sakti”, dan Gara “gara-gara/peristiwa”
Nama-nama lain Sang Hyang Rakian Sakti:
Aji Saka atau Sipahit Lidah, Naga Sakti atau Nabi Khidir(Ghaib),
Asal-usul beliau:
Beliau adalah malaikat hokum yang ingin merasakan kehidupan sebagai manusia, sehingga beliau memohon kepada tuhan supaya tetap hidup hingga akhir zaman, permohonan beliau terkabulkan oleh tuhan maka beliau bernama Nabi Khidir AS (penguasa ghaib).
Garis besar tugas malaikat hokum itu:
1. menghukum alam supaya senantiasa tenang/ sempurna,
2. sebagai raja alam ghaib
3. mengemban tugas memperingatkan dan sebagainya kepada manusia dan jin akan H.I.K (falsafah jaya sempurna) untuk dapat hidup bermasyarakat hingga akhir zaman.
Urai an diatas adalah asal-usul naga sakti / nabi khidir (santhy) , sang hyang rakian sakti/ pangeran surya Negara.
Pada saat beliau menitis kembali yang kedua kalinya beliau telah memberikan gambaran keadaan beliau zaman yang telah lalu. Yakni:
1. nama sang hyang rakian sakti nama lain sebagai naga sakti(nabi khidir as) untuk pemusatan kepercayaan, yang mana hukumnya berlambang kan matahari dan bulan (cahaya) atau disebut dengan bumbungan matahari(haribaan tuhan yang maha esa / cahaya).
2. nama sang hyang rakian sakti nama lain sebagai Aji Saka (sipahit lidah),
3. kemudian sang hyang rakian sakti dengan nama lain sebagai Pangeran Surya Negara malahan diawali dengan nama santhy yang berarti juru selamat. Makanya jelma haji pecaya apabila dia tak bersalah dia senantiasa dalam lindungan puyang Aji(juru selamat).
v Sang Hyang Rakian Sakti/ Pangeran Surya Negara
Bunyi Sila Tongkat Persumpahan Haji :
1. disini aku dahulu menurunkan hukum (Tenggalom),
2. disini pula aku menurunkan hokum itu (Tongkatnya Miring),
3. disini pula hukum itu diturunkan kembali (Ditegakkan).
Kiasan dari butir kedua “petunjuk bahwa hukum itu akan diturunkan lagi”
Kiasan dari butir ketiga “ telah ditentukan tandanya dengan letak tongkat agak miring,dan diabadikan pada jari telunjuk keturunannya yang miring”.
Perlu diketahui bahwa ini peringatan Sang Hyang bahwa hukum itu akan diturunkan kembali, maka makna dari butir 3 “keturunannya harus menjaga dan menegakkan hukum (Persumpahan Haji) itu kembali.
v Ke-12 Hulubalang Sang Hyang Rakian Sakti:
1. Iskandar Alamsyah, diSiguntang’
2. Bagus Kuning/ Raden Kuning, diBagus Kuning Palembang,
3. Sapu Rantau,di daerah Saka Tiga
4. Si Tunggang Abang di Mara Bahala Martapura,
5. Raden Keling di Putaran Tasik Danau Ranau,
6. Komering Raja Ngaruntak di Muara Selabung/ Muaradua,
7. Ratu Aceh , lokasi Buay Haji/ Pusat Haji Sakti sekarang Kuripan Aji
8. Macan Begerom di Matahari, lokasi Muara Sungsang,
9. Macan Putih dibulan, lokasi Pesagi atau sekarang Kenali,
10. Macan Ulung dihulu Sungai, daerah Pugung,
11. Jugul Matahari diBumi Lengang, daerah Pemetung Sengang Ranau,
12. Raden Selinggang diJaga Mendung, lokasi Puncak Seminung.
Selain kedua belas hulubalang beliau dibantu seorang Patih yaitu:
Patih Sewatang.
v Tanda Kekuasan Aji Saka/ Sipahit Lidah atau Puyang Rakian Sakti:
Adalah sebuah “kayu cendana” yang ditanam sebagai ciri/tanda makam Sang Hyang Rakian Sakti yang dimakamkan di “Saka Aji” yang sekarang bernama “Sukarami Aji”. Cendana sakti itu tak obahnya sebagai pertanda persumpahan beliau sebagai Aji Saka/Sipahit Lidah, bahwa dia akan menitis kembali seperti sewaktu beliau bersumpah dibawah pohon majapahit sebelum kembali kealam ghaib, pohon majapahit itu adalah pohon henau. dan ternyata beliau menitis kembali dalam sebuah kerajaan majapahit. “Makanya cerita orang yang tua mengatakan bahwa jelma haji anak taha, masih taha dari jelma jawa….. karena sebelum adanya majapahit Aji Saka melakukan persumpahan tanah Haji” cendana sakti ini merupakan pusaka keturunan beliau (Aji Saka).
v Petala Gantung
Pada waktu sulah naga berisang/ patih anom akan pergi ke haji seragi beliau berpesan kepada adik angkatnya/angkonnya Puteri berdarah Putih bahwa apabila sepeninggalnya diHaji seragi ada suatu huru hara maka panggillah ia dengan menabuh/memukul Gamolan atau Gong Khayangan yang berada di Petala Gantung yang sekarang berada dihilir desa Sukarami Aji tepatnya dihilir Pangkalan Nyapah sebelum tendikat. Pada suatu ketika terjadilah huru hara dihaji seragi, maka puteri berdarah putih pergi menuju Aji Sai, dengan menyusuri sungai Saka (Komering sekarang), Sesampainya dimuara Selabung sungai itu bercabang dua maka ragu-ragulah beliau sungai mana yang akan ditempuh. Maka beliaupun menimbang kedua sungai tersebut dengan kemukjizatan beliau maka sungai yang berat adalah sungai Selabung sungai tempat Sulah atau Aji Sai. Akhirnya masuklah beliau menyusuri sungai (selabung) tersebut. Maka menurut riwayat Puteri Berdarah Putih diantar oleh Panglima Puyang Temenggung Sikuncet Besi menuju Aji Sai. Puteri berdarah Putih adalah adik angakt Sang Hyang Rakian Sakti, yang kemungkinan besar adalah saudara sepupu putri ratu Pesagi/Pemanggilan yang berjuluk Bidadari Angsa yang merupakan Permaisuri Sang Hyang Rakian Sakti. Sesampainya Siputeri Berdarah Putih diPetala Gantung, maka ditabuhlah/ dipukul lah Gamolan Khayangan tersebut, sehingga dapat terdengar hingga Pesagi(Ranau) yang mana saat itu Sulah dan Sang Hyang Rakian Sakti sedang berada disana. Mendengar bunyi Gamolan/Gong maka Sulah dan Sang Hyang Rakian Sakti pergi menjemput Puteri Berdarah Putih, yang selanjutnya beliau-beliau ini menetap diPusat Aji Sai (Haji Sakti) yang mana puteri berdarah putih menetap didaerah Sumur Pusaka (sekarang dinamakan Sumur Puteri tempat beliau mandi) daerah ini sekarang bernama Desa Kota Agung Aji.
Kemudian harinya stelah siputeri berdara putih pergi menuju pulau jawa menyusul Sang Hyang Rakian Sakti beliau meninggalkan seorang anak benama Buay Sedatu. Selama diwilayah Aji Sai beliau memiliki pangawal Bernama Kukuk Sinangka-nangka yang memiliki tiga anak buah. Lalu dikemudian harinya lagi menyusul pula kepulau jawa Sulah Naga Berisang dan Supartung yang meninggalkan anak bernama Pangeran Hujan Terima Sakti (cikal bakal desa sukarami adalah keturunannya) sehingga desa Sukarami Aji pada saat hujan mereka mengatakan itu dalah Teghai/terai untuk menghormati nama pangeran Hujan Terima Sakti (Munggu).
Berdasarkan penyelidikan nama semua tokoh Aji Sai yang pergi dari wilayah Aji Sai memiliki makam didaerah Cirebon Jawa Barat dengan nama sedikit berbeda namun memiliki arti yang sama:
1. Sulah Naga Berisang (patih anom) dangan nama naga berisang di gunung sari.
2. Puteri Berdarah Putih dengan nama Jabang bayi diGirang
3. Supartung dengan nama Syehk Megelung Sakti diKarang Kendal (JaTeng)
4. Sungkan disuka ham -+1650, makamnya dimasjid agung tagwa dengan nama Mbah kuwu Sungkan.
Disepanjang aliran sungai Selabung banyak peniggalan kebudayaan hindu/budha yakni dimasa Aji Saka dan sebelumnya. Rakyat sekarang hanya mengetahui itu adalah peninggalan dari majapahit masa Sang Hyang Rakian Sakti. Padahal sebelum beliau ini membawa kebudayaan/ penyebaran islam, pernah terjadi suatu persumpahan tanah atau wilayah antara Sang Hayang Rakian Sakti dengan Suku Abung(Lampung) dimana beliau dengan persumpahan tongkatnya mengatakan dibawah tongkatnya tersebut adalah tanah haji untuk menyakinkan bahwa tanah diwilayah Haji sakti itu adalah tanah haji, bila bukan beliau akan mati didalam sumpah tersebut. Dengan kecerdikan beliau pergi sebentar ketanah suci mekkah untuk mengisi bagian bawah tongkat beliau.
Tempat persumpahan itu sekarang dinamai Tanjung Haji dan tongkat tersebut ditancapkan disana sebagai tugu yang setiap orang lewat disana ditumpukan batu disekitar tongkat.
v PERNIKAHAN RAKIAN SAKTI
Hari-hari yang damai dan tentram pun dirasakan masyarakat dengan peraturan dan adat yang baru dibawah kekuasaan rakian.
Dalam keadaan masyarakat yang damai dan tentram tersebut rakian terfikir ingin memiliki isteri, diketahuilah oleh naga berisang tentang keinginan rakian tersebut, naga berisang berkata pada rakian “izinkan aku mencarikan isteri untukmu dari negeri cina”. Rakianpun menjawab “baiklah aku izinkan”. Naga berisangpun mengenalkan gadis cina tersebut kepada rakian namun rakian tidak setuju, kemudian rakian dengan ksaktiannya naik keatas awan sambil melihat-lihat. Dalam pandangannya yang jauh ia melhat puteri dari ratu pesagi yang cantik dan anggun sedang mandi dibukit pesagi, jatuh cintalah rakian pada puteri ratu pesagi tersebut, kemudian mereka bertemu dan bersenda gurau diketahuilah namanya Puteri Dayang Nyerupa.
Rakian yang sedang kasmaran tersebut memanggil saudaranya Naga Berisang dan Ratu Acih kemudian menceritakan kepada mereka bahwa ia sedang kasmaran dan berniat ingin menikahi puteri tersebut,
“bagaimana caranya agar aku bisa menikah dengan Putri Dayang Nyerupa?!” ucap Rakian pada mereka berdua.
Naga Berisang dan Ratu Acih pun ikut berbahagia lalu berkatalah mereka berdua “baiklah kami menunggu perintah”
Rakianpun meminta Ratu Acih datang kepada Ratu Mesagi untuk menyampaikan maksudnya meminang Puteri Dayang Nyerupa. Tanpa berfikir panjang berangkatlah Ratu Acih menghadap Ratu Mesagi, sesampainya disana Ratu Acih menyampaikan permintaan Rakian, Ratu Mesagi dan Puteri pun menyetujuinya.
Ratu Mesagi berkata “baiklah, namun kami memiliki adat bertunangan”
“baiklah, apa yang ratu mesagi inginkan??” jawab Ratu Acih
“sesungguhnya Rakian telah mengetahui apa yang menjadi adat bertunangan, kami meminta semambu ulung menjadi tongkat, buluh merindu, buluh kebut, buluh akar, cendana ulung” ujar Ratu Mesagi.
jawab Ratu Acih “baik, akan kusampaikan pada Rakian, aku mohon pamit untuk kembali ketanah haji”
Pada saat yang bersamaan dengan keberangkatan Ratu Acih menghadap Ratu Mesagi, Rakian memerintahkan Naga Berisang untuk mengambil buku hokum dan adat yang berada didalam laut kedu dibawah kayu pauh jenggi, putaran tasik. Naga Berisangpun menyanggupinya.
Naga berisang berangkat menuju pauh jenggi, putaran tasik, naga berisang merubah dirinya menjadi ikan kihung (gabus) namun tidak dapat sampai pada dasar laut karena banyak yang menghalangi, naga berisangpun naik kembali kepermukaan ditemukannya ada Rakian Sakti berdiri diatas permukaan laut, Naga Berisangpun berkata “aku belum sampai kedasar karena banyak yang menghalangi”
“cobalah sekali lagi, berubahlah kamu menjadi naga dan gantungkan kakimu pada kakiku” jawab Rakian Sakti.
“baiklah” jawab Naga Berisang.
Naga Berisang merubah dirinya lagi menjadi Naga lalu menggantungkan kakinya dengan Rakian dan kembali menyelam untuk mengambil buku yang dimaksud. Sesampainya didasar laut terkejutlah Naga Berisang karena yang menjaga buku tersebut adalah Rakian Sakti, lalu Naga Berisang menyampaikan maksud dan tujuannya untuk membawa buku tersebut, diberikanlah buku tersebut kemudian Naga Berisang kembali kepermukaan untuk menyerahkan buku yang diambil oleh Naga Berisang. Sesampainya dipermukaan laut, Naga Berisang kembali terkejut karena Rakian Sakti tetap ada dipermukaan laut menunggu Naga Berisang mengambil buku hukum dan adat.
Naga Berisang menyerahkan buku hukum dan adat tersebut lalu berkata pada Rakian “sejak hari ini aku akui kamu lebih sakti dari aku, memang benar aku lebih tua dari kamu namun kamu lebih sakti dari pada aku, kini aku memanggil kamu kakak”.
Rakianpun tersenyum sambil menjawab “baiklah, aku terima kalau itu keinginanmu, ayo kita kembali ketanah haji untuk menetapkan hukum dan adat”.
“baiklah, ayo kita berangkat” jawab Naga Berisang
Sesampainya mereka dipurna dikumpulkanlah semua hulu balang lalu menetapkan hukum dan adat. Tak lama kemudian Kembalilah ratu acih ketanah haji dan menyampaikan semua permintaan Ratu Mesagi dan puteri kepada rakian.
Rakian pun berkata “baiklah, kita penuhi permintaan Ratu Mesagi.”
Selang beberapa waktu mereka menyiapkan bahan-bahan yang diminta ratu mesagi,
Kemudian rakian berkata “semua permintaan telah kita adakan, antarkanlah besok keRatu Mesagi” ucap rakian pada Ratu Acih.
“baiklah” jawab Ratu Acih.
Keesokan harinya berangkatlah Ratu Acih ke mesagi, sesampainya dimesagi telah disambut dengan hormat oleh Ratu Mesagi.
“kami telah menerima ini, namun masih ada lagi permintaan kami yaitu; pinang beragai, iban beragai, rukuk menyalang, tembakau” ucap Ratu Mesagi kepada Ratu Acih.
Ratu Acihpun menjawab “baik kami terima paermintaan Ratu Mesagi, dan aku mohon pamit untuk kembali ketanah haji”
Sampailah Ratu Acih ditanah haji langsung menyampaikan permintaan ratu mesagi tersebut kapada rakian.
“baiklah, kita kumpulkan lagi permintaan Ratu Mesagi tersebut, namun berangkatkanlah dulu utusan ke bumbung matahari untuk memberitahukan berita ini kepada adikku Puteri Berdarah Putih dan memintanya datang kemari untuk menyusun permintaan ratu mesgi ini” ucap rakian pada ratu ratu acih.
“baik” jawab ratu acih.
Setelah menunggu, sampailah puteri berdarah putih ditanah haji dan bertemulah dengan rakian. Partemuan ini disambut bahagia oleh rakian, rakianpun menceritakan keinginannya untuk meminang. Tak lama dari kedatangan puteri berdarah putih bermufakatlah mereka merencanakan permintaan Ratu Mesagi dan Puteri Dayang Nyerupa.
“mari kita kerjakan, kita ikuti bunyi dari buku hukum dan adat dari laut kedu dibawah kayu pauh jenggi, putaran tasik dalam sepeku itulah yang akan kita gunakan” ucap puteri berdarah putih.
Lalu diserahkan semua bahan dan alat yang dibutuhkan kepada puteri berdarah putih, dan puteri pun dibuatkan mahligai diseberang gunung pauh untuk menyiapkan cara-cara pengunjungan (adat pernikahan). Dibuatkan pancur tujuh tempat mandi dan dari pinggir way selabung menuju mahligai terdapat sumur yang dinamakan sumur puteri berdarah putih. Setelah semua disiapkan maka pernikahan dan seserahan dilaksanakan dengan aturan yang tertulis dari buku hukum dan adat yang didapat dari laut kedu tersebut. Menikahlah rakian sakti dengan Puteri Dayang Nyerupa dari Mesagi.
(tatacara pernikahan dengan adat masih tetap berlaku hingga sekarang ditanah haji)
* hani crita ke 2 lah slesai perang kekuasaan….
ditambahkan oleh: Yudha (http://www.facebook.com/profile.php?id=1813615671)
v ASAL MUASAL TANAH HAJI
Kisah ini Berawal dari sekelompok persaudaraan pertalian darah dengan kesaktian yang sangat tinggi, kelompok ini dipimpin oleh HYANG JAGAT PRABU / RAKIAN SAKTI / NEGARA SAKTI bersama saudara pertalian darahnya NAGA BERISANG (SAILILLAH) membawa tanah haji dari mekah…dengan anggota (hulu balang) :
1. Tuan Makdum
2. Bagus Kuning
3. Sandar Alam
4. Sapu Rantaw
5. Jugil Butaring
6. Si Tunggang Abang
7. Radin geruntak
8. Ratu Acih
9. Macan Ulung
10. Prajurit Perca
11. Macan Putih
12. Macan Gerom
Mereka datang dari bumbung matahari (arah matahari terbit / timur) dengan mengikuti air dari lautan, sampailah mereka didaratan (sekarang palembang / sumatera selatan), kemudian rakian sakti memerintahkan beberapa hulu balangnya untuk menetap dibeberapa daerah yaitu :
1. Tuan Makdum di Muara Sungsang
2. Bagus Kuning di Batu Ampar
3. Sandar Alam di Bukit Seguntang
4. Sapu Rantaw di Saka Tiga
5. Jugil Butaring di Bumi Lengang
6. Si Tunggang Abang di Pulau Berhala
7. Radin geruntak di Muara Komering
Perjalanan dilanjutkan mengikuti air jernih, sampailah rombongan diPelangka.
berkatalah rakian pada rombongan “kita singgah disini”
kemudian mereka mendarat ditanjungan. Sesampainya ditanjungan berkata kembali rakian “inilah tanahku yang kuberi nama tanjung haji (tanah haji)”. Saat yang bersamaan rakianpun meletakkan tanah yang ia bawa dari haji (mekah). Rakian pun kembali memerintahkan anggota yang tersisa untuk menetap dibeberapa daerah yaitu:
1. Ratu Acih di ketapan
2. Macan Ulung di Hulu sungai
3. Prajurit Perca di Gunung Mesiki
4. Macan Putih di Mendala bulan
5. Macan Gerom di Matahari
Lalu Rakian Sakti dengan saudara talian darahnya Naga Berisang meneruskan perjalanannya mengikuti sungai jernih (selabung) sampai kedaerah yang subur tanahnya namun sudah ada warga yang menetap, itu adalah warga abung…
Karena rakian merasa itu masih dalam wilayahnya tanah haji, rakian dan naga berisang menetap untuk mempelajari masyarakat tersebut, terdengarlah oleh rakian bahwa sesungguhnya sebelum menjadi kekuasaan abung daerah itu bermukim sekelompok masyarakat yang kemudian dijadikan kekuasaan oleh masyarakat abung, tak selang beberapa lama rakian mengikrarkan “Aku besumpah ini adalah tanah haji dan kalau ini bukan tanah haji maka habislah aku serta anak keturunanku” beliau berikrar sambil memegang tongkat cendana ulung yang didalamnya ada tanah yang berasal dari haji (mekah) {perlu diketahui bahwa masyarakat dan raja abung tidak mengetahui adanya tanah yang disembunyikan dari senjata rakian ini .red}. Terkejutlah warga dan raja abung, berkata raja abung “aku tidak percaya ini tanah haji dan apabila perkataanmu itu benar maka kamu akan selamat, namun apabila salah maka perkataanmu itu akan mencelakaimu sesuai dengan sumpahmu”.
Setelah peristiwa itu rakian menetap dan bergaul dengan warga setempat, waktupun berlalu dari hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulanpun berganti tahun, ternyata rakian masih tetap hidup, raja mulai merasa cemas dengan keadaan ini karena ia berfikir kerajaannya akan terancam apabila terus dibiarkan, kemudian raja pun bersiasat dikumpulkanlah warga masyarakat di ujung kampong dengan memanggil rakian, raja berkata kepada rakian didepan rakyatnya “hari ini aku ingin lihat kebenaran ucapanmu sekali lagi dan apabila itu benar maka aku akan tinggalkan tempat ini bersama bawahan-bawahan setiaku, apakah kamu berani??”
kemudian rakian berkata “baiklah apa permintaan raja aku ikuti”.
Raja pun menjawab “belahlah batu ini tanpa menggunakan senjata”
Rakianpun menyanggupinya, batu yang dimaksud dipukul menggunakan tangan lalu terbelahlah batu tersebut (maka disebut batu pesumpah). Wajah Rajapun memerah karena geram dan menyerang, namun dihalau oleh naga berisang yang selalu ada bersama rakian. Ditengah perselisihan Rakianpun melerai pertikaian tersebut sambil berkata “aku akan keseberang sungai menunggu kamu meninggalkan kampong ini, siapa dari masyarakat yang ingin ikut aku ayo kita menyebarang!!!”.
Beberapa orang dari masyarakat yang merasa tanah itu bukan milik bangsa abung mengikuti rakian karena melihat kebenaran dan kesaktian rakian. Waktu berselang lama namun sang raja seolah menantang dengan tidak meninggalkan tanahnya, rakianpun mengumpulkan hulu balangnya bersama naga berisang kemudian menyerang dan mengusir raja dan masyarakat abung dari kampong itu. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, raja dan masyarakat pun menyerah dan pergi dari tanah haji. Berhasilah rakian mengusir raja dan bangsa abung dari tanah tersebut, kemudian tanah haji pun terbentuk dan kampong lama pun ditinggalkan dengan menyeberangi sungai yang saat ini disebut way selabung (pada saat ini kampong baru yang ditempati tersebut diberi nama Tanjung Raya). Setelah pertikaian maka masyarakat menempati tanah tersebut dengan tentram dan damai, rakian memilih menetap dipurna dan naga berisangpun memilih menetap disurabaya.
ditambahkan oleh: Yudha (http://www.facebook.com/profile.php?id=1813615671)
v Bahasa dan Adat Istiadat Suku Aji/Haji
Cerita Suku Haji OKU Selatan
A. Adat :
Adat istiadat disebelah utara kerajaan saka (aji sai) telah lama dibentuk sejak berdirinya kerjaaan tersebut. Pembentukan adat dilakukan oleh tokoh-tokoh kerajaan dalam bimbingan Sang Hyang Rakian Sakti/ H.I.K falsafah jaya sempurna. Daerah sebelah selatan pedalaman lampung sekarang, adat belum dibina secara resmi karena sebagian penduduknya yang antara lain suku abung masih membangkang terhadap Sang Hyang Rakian Sakti. Baru setelah dikemudian hari mengetahui bahwa Sang Hyang Rakian Sakti sebenarnya adalah leluhur mereka juga (aji saka) lagi pula istri Sang Hyang Rakian Sakti berjuluk bidadari angsa adalah Putri dari Ratu Pesagi. Maka mereka kembali berasimilasi dengan Pangeran Sang Aji Malihi (kakanda Rahman Effendi Martabaya: Pangeran Sangaji Malihi) yang pada tahun 1640 pangeran ini adalah Raja Kerajaan Haji Sakti (Saka Aji). terbentuklah adat perpaduan yang dalam penasehatan/pengarahan oleh Pangeran Sang Aji Malihi sesuai dengan kedudukannya sebagai Ratu Adil. Disini disimpulkan bahwa Sang Aji Malihi sebagai Raja Adat, Raja Hukum ,dan Raja Basa (Bahasa).
B. Bahasa:
Sang Hyang Rakian Sakti dijuluki juga dengan julukan Raja Basa/Bahasa dalam riwayat pada suatu ketika beliau akan mencari seorang permaisuri. Maka diadakanlah sayembara bahwa barang siapa yang bisa berbahasa haji (Haji Sakti), maka pilihan akan jatuh kepada yang bisa berbahasa tersebut. Berduyun-duyunlah putri dari berbagai negeri mengikuti sayembara akan tetapi tidak ada satu pun yang pandai bahasa tersebut, pada saat akan berakhirnya sayembara tiba-tiba muncullah seorang puteri dari negeri Pesagi (Skala Berak) yang dalam keadaan berpenyakitan, Sang Hyang Rakian Sakti pun berdialog dengan puteri tersebut dengan durasi yang sangat lama, setelah berdialog yang cukup panjang maka jatuhlah pilihan tersebut kepada puteri dari kerajaan Pesagi yang diberi julukan Puteri Bidadari Angsa. Dengan kesaktian Sang Hyang Rakian Sakti maka disembuhkanlah penyakit puteri dari kerajaan Pesagi tersebut, yang telah melayani beliau berdialog dalam berbagai bahasa. “Hakekat Bahasa Haji menurut Sang Hyang Rakian Sakti adalah bahasa yang terbanyak dikuasai rakyat yang berarti semua bahasa itu bila berbaur melalui dialog antar suku bisa timbul suatu bahasa tunggal sebagai bahasa persatuan”. Berdasarkan sejarah ini bangsa menurut ilmu beliau adalah suatu kelompok manusia yang digolongkan serumpun bahasa. maka dari itu kenapa Bahasa Haji dapat masuk ke bahasa mana pun ini disebabkan keinginan Sang Hyang Rakian Sakti untuk dapat menyatukan segala bahasa yang ada dinusantara. Kenapa Puyang Haji kesiangan? Disini disimpulkan bukan kesiangan bangun tidur akan tetapi beliau terlambat datang pada saat sidang pembentukan adat dan bahasa, dikarenakan dia harus menemui adik angkat beliau yang bernama Sang Hyang Putri Berdarah Putih .
(versi Haji dalam buku sejarah Aji Saka Sai)
(dibukukan kakanda Indra Syafri gelar Cahaya Negeri)
Dipostkan oleh Aditya Penatazaman
Pencinta Sejarah Suku Haji Bumi Selabung OKU Selatan
Desa Sukarami Aji
http://adityakhenzo.wordpress.com/
Sejarah Adat (menurut kakanda Rahman Effendi Martabaya Bandar Lampung)
Adat pepadun sai batin terbentuk pada abad ke-17 tahun 1648 M oleh empat kelompok/buay, yaitu Buay Unyai di Sungai Abung, Buay Unyi di Gunungsugih, Buay Uban di Sungai Batanghari dan Buay Ubin (Subing) di Sungai Terbanggi, Labuhan Maringgai. Adat pepadun sai batin ini masih ada pengaruh dari Hindu dan Buddha dan diadakan atau dibentuk di Goa Abung (Kubu Tanah) di dekat perbatasan Buay Ubin (Subing) Kota Batu, Ranau sekarang. Di sana ada lima buah kursi dari batu tempat sidang adat tersebut. Adat pepadun sai batin dibentuk atas prakarsa dari Raja Saka (Aji Sai) yang bernama/bergelar Pangeran Sang Aji Malihi yang pada waktu itu daerah pedalaman Lampung dalam wilayah kekuasaannya. Suatu saat sidang akan dilaksanakan Pangeran Sangaji Malihi terlambat datang karena beliau lebih dulu menjemput adik angkatnya yang bernama Putri Bulan (Anak Bajau Sakti/Raja Jungut) dikenali Bukit Pesagi untuk diajak menghadiri pembentukan sidang adat tersebut. Saat sidang akan dimulai Putri Bulan bertanya kepada Sangaji Malihi sidang apakah ini? Putri Bulan tidak dikenal keempat peserta sidang (empat buay) yang merupakan utusan kelompok masing-masing wilayah. Sangaji Mailahi menjawab akan membentuk adat.
Keempat bersaudara dari 4 buay tersebut merasa sangat tertarik melihat Putri Bulan adik angkatnya Sangaji Malihi dari Pesagi tersebut, sehingga rapat/sidang ditunda sejenak karena terjadi keributan di antara mereka. Untuk mengatasi keributan itu, Sangaji Malihi memutuskan Putri Bulan dijadikan adik angkat dari mereka berempat. Setelah meninggalkan daerah Goa Abung, mereka menyebarkan adat ke daerah pedalaman Lampung sekarang. Buay Unyai pada puluhan tahun kemudian hanya mengetahui sidang adat pepadun sai batin diadakan di daerah Buay Unyai dan sebagai Raja Adat, Raja Hukum, Raja Basa (Bahasa) adalah Sangaji Malihi yang kemudian hari dijuluki masyarakat sebagai Ratu Adil. Buay Bulan (Mega Pak Tulangbawang) pada permulaan abad ke-17 Putri Bulan bersuamikan Minak Sangaji dari Bugis yang julukannya diambil dari kakak angkatnya Sangaji Malihi (Ratu Adil).
Empu Riyo adalah keturunan Buay Bulan di Buay Aji Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri Bulan ada di belakang Kecamatan Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri Bulan di Buay Aji Tulangbawang Menggala (sekarang). Di antara keturunan Raja Jungut/Kenali Pesagi keturunan Buay Bulan ada di Kayu Agung, keturunan Abung Bunga Mayang dari Mokudum Mutor marga Abung Barat sekarang.
Daerah lima Kebuayan dan buay-buay lainnya di Lampung sekarang, kecuali Lampung Selatan dan Bengkulu sebelah utara bertakluk kepada Raja Aji Sai tahun 1640 (Pangeran Sangaji Malihi). Menak Masselem dari Buay Unyai Putra Menak Paduka Bageduh (Ratu Gajah) yang bergabung Banten tahun 1680 karena terjadi perselisihan antara anak cucu Menak Paduka Bageduh. Jadi adat pepadun sai batin merupakan satu kesatuan (two in one) yang tidak terpisahkan satu sama lainnya karena arti/makna dari pada kata atau kalimat pepadun sai batin adalah pepadun = musyawarah/mufakat, dan sai batin = bersatu/bersama. Jadi kata pepadun sai batin adalah musyawarah mufakat untuk bersama bersatu dalam rangka sidang adat tahun 1648 di Goa Abung (Kubu Tanah) Kota Batu Ranau dekat perbatasan Buay Ubin, Lampung Barat sekarang.
Pembentukan adat tersebut diprakarsai Sangaji Malihi yang bergelar Ratu Adil yang oleh masyarakat saat itu sebagai Raja Adat, Raja Hukum dan Raja Basa.
Dan kemudian hari sejarah adat pepadun sai batin terbagi menjadi 2 kelompok/jurai, yaitu Lampung sai = pepadun dan aji sai = sai batin, yang kemudian kita kenal sebagai lambang Sang Bumi Ruwa Jurai (pepadun sai batin). Fakta/bukti autentik piagam logam tahun 1652 Saka/1115 H atau tahun 1703 M yang bertuliskan Arab gundul dan aksara pallawa/hanacaraka ada pada penulis sebagai salah satu keturunan Sangaji Malihi. Jadi adat pepadun sai batin itu berarti musyawarah mufakat untuk bersatu/bersama dalam pembentukan Adat.
Dalam waktu dekat ini anggota Tim Pakar Aksara Kaganga Indonesia dari Sumatera bagian Selatan akan melaksanakan Lokakarya Aksara Kaganga Indonesia di Bandar Lampung sebagai tuan rumah penyelenggaraan kegiatan tersebut karena Provinsi Lampung-lah yang mengangkat aksara kagama selam Indonesia merdeka.
Tujuan kegiatan tersebut untuk segera mengangkat sejarah leluhur tempo dulu dengan memasyarakatkan membaca tulisan aksara kaganga yang ada di Sumatera dan Sulawesi.
Keterangan/Kata Rani Siji:
Pepadun = Musyawarah/mufakat
Sai batin = Bersatu/bersama
Lampung sai = Kita bersatu/mereka bersatu
Aji sai = Saya satu/ini satu
Sang Bumi Ruwa Jurai = pepadun saibatin (satu kalimat) musyawarah untuk bersatu
Alamat Penulis: Jalan Cut Nyak Dien Gang Hamid No. 30 Bandar Lampung 35116
( versi kakanda Rahman Effendi Martabaya gelar Raden Batin Aji )
Peneliti dan Pemerhati Sejarah Budaya dan Aksara Kaganga Indonesia
Dipostkan oleh Lampung Post
Dari kedua versi ini tidak jauh berbeda, keduanya sama-sama mengakui Naga Sakti/ Sang Hyang Rakian Sakti sebagai Titisan/Jelmaan Nabi Khidir as, serta sama-sama mengakui Kerajaan Aji Saka Sai yang meliputi Jambi, Padang, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung. (Sekian tentang Adat dan Bahasa)
Rangkuman
Ini hanyalah penggalan dari sebuah “Sejarah Aji Sai”
yang disusun kembali oleh:
Indra Syafri / Cahaya Negeri
Kampung Ratu “Sukarami” saka aji
Pada 21 januari 2002
Sumber Cerita ;
Ibrahim / Cinta Alam
Penambahan pada bagian Adat dan Bahasa diambil dari:
(kakanda Rahman Effendi Martabaya gelar Raden Batin Aji)
Alamat Penulis: Jalan Cut Nyak Dien Gang Hamid No. 30 Bandar Lampung 35116
Sebagai pembanding catatan yang pernah dibukukan oleh kak indra syafri (sukarami aji), tetapi keduanya sangat mirip hanya tempat dan penulisan yang berbeda misalnya Sang Aji Malihi oleh kakanda rahman effendi martabaya menulis Sangaji malihi. Tapi memiliki kesamaan arti….. semoga rangkuman catatan kerajaan Aji Saka Sai ini bermanfaat bagi generasi selanjutnya, yaitu Putra Putri Suku Haji (Aji Sai) yang berlokasi dikecamatan Buay Sandang Aji dan kecamatan Tiga Dihaji kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan provinsi Sumatera Selatan.
Berbahasa Haji:
Bagi langsanak- langsanak sa enjak haji, sa endak ngelahat atawa endak mbaca kisahnya sa asli. Lah ku sediakon sebuah album photo sa isinya gambar lembarhan buku tersebut. “Terima Kasih”
Dipostingkan kembali Oleh :
Aditya Penatazaman
Pendiri group facebook “Cahaya Kita Marga Haji”
November 2009

Ini hanyalah penggalan dari sebuah “Sejarah Aji Sai”

Legenda Sipahit Lidah. Bukti Peninggalan Sipahit Lidah

Inilah bukti (mitos) si pahit lidah di tengah masyarakat yang saat ini masih membekas di lingkungan masyarakat.
Si Pahit Lidah, suatu legenda yang hampir punah di mata penduduk Sumatera, khususnya di Sumatera Selatan karena sampai sekarang belum bisa di pastikan dari mana asal usulnya.



Si Pahit Lidah dan peninggalan-peninggalannya

1.Batu Macan...!!!!!!!!




Konon batu ini sudah ada sejak abad ke 14 terdapat di Desa Pagar Alam Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat. Penduduk setempat meyakini batu macan adalah simbol  sebagai wujud nyata paraturan adat (perdat) yang harus dipatuhi. Menurut cerita penduduk setempat Dahulu kala ada seekor macan yang kerap kali mengganggu masyarakat desa di empat wilayah (Pagar Gunung, Gumay Ulu, Gumay Lembah, dan daerah Gumay Talang).


Keganasan macan yang semakin merajalela kepada penduduk, membuat Si Pahit Lidah memperingati macan untuk tidak meneruskan kelakuannya, namun sampai tiga kali teguran tidak pernah dipatuhinya dan macan terus saja mengganggu penduduk.

Ketika Si Pahit Lidah sedang bersantai dan berjemur di batu penarakan sumur tinggi, dari jauh dilihatnya seorang wanita sedang menjemur padi sambil menggendong anaknya, dan pada saat yang sama datang seekor macan dari arah belakang wanita secara mengendap-endap untuk menerkam wanita bersama anak yang ada di gendongannya.

Melihat itu, kembali Si Pahit Lidah memperingati macan, namun sayangnya teguran itu tidak juga membatalkan niatnya untuk menerkam wanita tersebut, sampai akhirnya Si Pahit Lidah berucap “Aii, dasar batu kau nii!” dan tiba-tiba macan tersebut berubah menjadi batu.

Anehnya, bukan hanya macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah, wanita berserta anak yang sedang digendongnya turut menjadi batu. Setelah diselidiki, ternyata wanita tersebut adalah wanita pezinah dan anak yang sedang digendongnya adalah anak hasil perzinahan.

Dari kisah itu, penduduk setempat mempercayai, apabila seseorang diketahui berzinah, maka terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh si pelaku yakni menyembelih kambing sebagai basoh rumeh (pembersih rumah. red), dan apabila si wanita mengandung dan melahirkan, maka harus menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih lingkungan. red). Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka pelaku harus dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsi kan di daerah lain atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.



2.Goa Putri...!!!!!!!!!!



Menurut legenda yang dipercaya sampai sekarang, dulu tinggallah seorang Putri Balian bersama keluarganya. Suatu saat, sang Putri mandi di muara Sungai Semuhun (sungai yang mengalir di dalam goa, bermuara di sungai Ogan), persis pada pertemuan sungai itu dengan sungai Ogan.


Pada suatu saat, kebetulan seorang pengembara sakti lewat, namanya Serunting Sakti atau yang lebih dikenal dengan nama Si Pahit Lidah. Melihat Sang Putri di sungai hendak mandi, Si Pahit Lidah mencoba menegur. Namun tidak dipedulikan sama sekali oleh Sang Putri. Sampai beberapa kali Si Pahit Lidah menegur Sang Putri, tetap saja tidak dihiraukan oleh Sang Putri. "Sombong benar si Putri ini, diam seperti batu saja...," kata Si Pahit Lidah menggumam. Gumaman itu langsung mengenai Sang Putri, sehingga serta merta Sang Putri berubah menjadi batu. Itulah batu yang terdapat di Sungai Ogan, seperti yang digambarkan pada awal tulisan ini.



Si Pahit Lidah lalu meneruskan perjalanannya. Tak disangka sampailah sang pengembara di depan lokasi yang sekarang menjadi goa. "Katanya ini desa, tapi tidak kelihatan orangnya, seperti goa batu saja,' kata Si Pahit Lidah bergumam. Dan jadilah tempat itu sebagai goa batu. Itu legenda terjadinya Goa Putri.
Memasuki Goa Putri, banyak keindahan alam ciptaan Tuhan yang menakjubkan dapat Anda saksikan. Bagaikan perunggalan kerajaan pada zaman dahulu yang telah runtuh namun masih utuh. Dinding goa yang dipenuhi stalagmit dan stalagtit menambah indahnya goa tersebut. Pada pintu masuk dapat Anda lihat patung seekor singa yang seolah-olah sedang orang di sana, jika Anda mencuci muka dengan air tersebut bisa menjadi awet muda, kulit muka tidak kelihatan tua.

 3. Danau Ranau...!!!!!!!


Danau ranau berjarak kira2 342 km dari kota palembang, 130 km dari kota Baturaja. Konon kabarnya hidup seorang yang sangat sakti yaitu Si Pahit Lidah, karena saking lidahnya pahit dapat mengkutuk orang, binatang, atau benda apapun menjadi batu. Hal ini dipercaya karena adanya situs peninggalan zaman dahulu kala yaitu BATU KEBAYAN (candi sepasang pengantin) yang puing-puingnya masih tersisa di dekat Desa Jepara, kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan. Dan konon dipercaya banyaknya situs (arca atau patung) di daerah Ranau.

 4. Patung Gajah......!!!!!



Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
Sebetulnya masih banyak peninggalan dari legenda si pahit lidah, seperti arca,lesung,subik,batu sirmol dan lain - lain. Tapi saya kutip yang terkenal di masyarakat.

Sejarah Kerajaan Sriwijaya lengkap, Bukti Pengaruh Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Nusantara


       
Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.
 Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.


        Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.


Historiografi
        Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

         Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

        Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).

Pembentukan dan pertumbuhan
        Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
        
         Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

         Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

       Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Agama dan Budaya
         Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.

        Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

        Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

        Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya.

Perdagangan
         Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
        Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Relasi dengan kekuatan regional
        Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

          Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.

Masa keemasan
          Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

            Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

          Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Penurunan
         Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.

          Antara tahun 1079 – 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan utusan berikutnya di tahun 1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I, hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

           Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).

         Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Struktur pemerintahan
         Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.

          Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

         Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.

Warisan sejarah
         Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

          Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.
Source: http://www.indonesiaindonesia.com/f/4090-sriwijaya/
Sumbe ( Sejarah Lengkap )